Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komarudin Watubun
Politisi

Komarudin Watubun, SH, MH adalah anggota Komisi II DPR RI; Ketua Pansus (Panitia Khusus) DPR RI Bidang RUU Otsus Papua (2021); pendiri Yayasan Lima Sila Indonesia (YLSI) dan StagingPoint.Com; penulis buku Maluku: Staging Point RI Abad 21 (2017).

Hutan-hutan Kita dan Pertahanan Keamanan Negara

Kompas.com - 05/04/2022, 07:16 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MAXAR Technologies Inc., perusahan teknologi angkasa asal Westminster, Colorado, Amerika Serikat (AS) pada 10 Maret 2022 merilis gambar satelit perang Rusia vs Ukraina di sekitar kota Kyiv, ibu kota Ukraina. Konvoi kendaraan tempur Rusia bergerak ke pusat kota Kyiv dan sejumlah kendaraan tempur lainnya bergerak ke hutan-hutan sekitar kota.

Sejak awal Maret 2022, pertahanan teritorial Ukraina berbasis hutan kota dan hutan-hutan sekitar kota. Garis depan pertahanan Ukraina, misalnya, berbasis hutan-hutan sekitar kota Kyiv.

Di sisi lain, sejumlah laporan internasional mulai khawatir tentang kerusakan dan kebakaran hutan, akibat perang Rusia vs Ukraina di Ukraina saat ini. Misalnya, ledakan artileri memicu risiko kebakaran hutan. Hingga pertengahan Maret 2022, sekitar 20.000 ha lingkungan hidup di kawasan Luhansk (Ukraina) telah ludes terbakar. Pers juga merilis risiko kebakaran hutan-hutan di sekitar 15 reaktor nuklir di Ukraina.

Baca juga: Mungkinkah Mengubah Gurun Menjadi Hutan?

European Space Agency (ESA) merilis gambar satelit tujuh kebakaran hutan di zona reaktor nuklir Chernobyl (Ukraina) pada 22 Maret 2022. Kebakaran hutan di sekitar reaktor nuklir Chernobyl memicu kekhawatiran persebaran radiasi luas melalui asap radioaktif (Andrew E. Kramer /The New York Times, 22/3/2022).

Selama ini, hutan-hutan bernilai stategis bagi pertahanan-keamanan negara di masa damai dan saat perang.

Hutan masa perang

Tahun 2003, A Joshua West merilis hasil riset tentang kebijakan kehutanan Inggris dan Amerika Serikat pasca-Perang Dunia I awal abad 20. “The widespread and lasting legacies of major military conflicts, so often counted by lives and lands taken, are only beginning to be understood in terms of the human relationship with the natural environment. The First World War...offers an appropriate starting point for a new kind of environmental history,” tulis West dalam jurnal Environmental History dengan judul ‘Forests and National Security’.

Perang Dunia I sangat memengaruhi strategi dan kebijakan sumber daya alam (SDA) khususnya kehutanan di Inggris dan Amerika Serikat.

Perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan juga memiliki jejak khusus nilai strategis hutan-hutan. Misalnya, Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia (RI) Jenderal Soedirman menerbitkan Perintah Kilat No. 1/PB/D/1948 untuk melancarkan perang gerilya melawan agresi Belanda. Melalui siaran radio pukul 8 pagi 19 Desember 1948, Perintah Kilat ini disiarkan ke seluruh Indonesia.

Ilustrasi hutan konservasipixabay Ilustrasi hutan konservasi
Di Jawa, Jenderal Soedirman menjelajahi 79 simpul perlawanan rakyat dan para pejuang kita dalam perang gerilya melawan Belanda (Adam Malik,1978:211). Jenderal Soedirman dan para pejuang keluar-masuk hutan. Maka pada Januari-Juni 1949, terbentuk sistem Wehrkreise dengan taktik gerilya, yakni pertahanan dinamis, manunggal rakyat dan TNI, dan basis pertahanan dan perlawanan per wilayah-lingkungan. Unsur utama komunikasi ialah surat-menyurat, kurir, dan jaringan radio.

Contoh lain, Letda Soewito dan Letda Soedarmadji ditugaskan ke Sataf Resimen di Manna, Bengkulu Utara. Kedua perwira itu memimpin perang gerilya melawan Belanda di hutan-hutan sekitar Kota Kepayang yang sudah direbut oleh Belanda. Usai Belanda menyerah-kalah tahun 1949, Letda Soewito dan Letda Soedarmadji dapat memasuki kota Bengkulu (Meokhardi, 1993: 262).

Baca juga: Hutan Amazon, Perisai Bumi yang Terancam Musnah

Kisah abad 19 di Maluku, pada 29 Mei 1817 di Saparua, Maluku, 21 wali atau wakil rakyat merilis manifesto berisi 14 sikap menentang pemerintah kolonial Belanda di bawah pimpinan Residen Jean Lubbert van den Berg di ibu kota Saparua (Maluku) (Bijdragen, 1911). Rakyat Maluku yang dipimpin Thomas Matulessy, menentang perintah kolonial Belanda, misalnya kerja-paksa di Jawa, kenaikan pajak, uang kertas Belanda, hukum atau tembak rakyat desa, dan produksi garam, ikan kering, kayu, kopi, dan dendeng tanpa pembayaran dari Belanda (Idema / Bijdragen, 1923).

Martha Christina Tiahahu (4 Januari 1800-2 Januari 1818) melancarkan perang gerilya melawan penjajah Belanda. Meski usianya masih 17 tahun, Martha Christina Tiahu keluar masuk hutan untuk memimpin perlawanan rakyat terhadap penjajahan kolonial Belanda di Desa Ouw, Ullath, Saparua. Pasukan Belanda menangkap Martha Christina Tiahahu dan 39 pejuang lainnya pada Desember 1817 (Tunny, 2008; Alaidrus, 2010).

Contoh lain, struktur pasukan khusus SAS Inggris modern berbasis patroli 4 orang di hutan Malaysia tahun 1950-an. Sejak itu, keahlian utama SAS antara lain ‘signaller’ (Durkin, 2011) mengirim pesan kode Morse melalui radio frekwensi tinggi, misalnya malam hari. Jadi, hutan-hutan dapat dijadikan benteng, pertahanan, dan tujuan militer lainnya masa perang.

Maka Mehmet Murat ildan, PhD, berkelakar-bijak : “When humanity wins its battle against the forests, this victory will be humanity's greatest defeat!” Jika manusia menang tempur melawan hutan-hutan, itu sebetulnya kekalahan terbesar manusia. Mehmet Murat ildan adalah filsuf dan novelis asal Turki, doktor ekonomi (University of Essex) tahun 1997 dan pernah menjalani wajib-dinas militer (Turki) tahun 1994.

Hutan masa damai

Dari Washington, AS, Kamis, 21 Oktober 2021, The Office of The Director of National Intelligence (ODNI) merilis riset dan kajian dampak perubahan iklim  terhadap keamanan negara. Suhu global sangat mungkin melampaui target Paris Agreement yakni hingga tahun 2040 kenaikan 1,5 derajat Celsius di atas level era industri abad 19 M.

Secara khusus, ODNI menyebut risiko lonjakan konflik kawasan dan risiko fisik akibat perubahan iklim (Gordon Corera, 2021). Risiko pertahanan-keamanan (hankam) negara akibat perubahan iklim antara lain panas ekstrem, banjir, kekeringan, kenaikan permukaan laut, badai tropis, hujan lebat, cair es kutub, dan punah terumbu karang.

Baca juga: 4 Manfaat Hutan Hujan Tropis untuk Kehidupan

Risiko-risiko tersebut di atas tentu sangat berdampak terhadap pertahanan keamanan negara kepulauan seperti Indonesia, khususnya perlindungan segenap bangsa (tanah-air-rakyat) dan seluruh tumpah-darah (human security) Indonesia sesuai amanat Pembukaan UUD 1945. Pilihan strategi tanggap dan antisipasi risiko-risiko ini antara lain strategi kehutanan sehat-lestari-berjenjang dengan unsur pokok yakni tanah-air, tumbuhan, dan manusia.

Hutan lebih terpateri-erat dengan iklim. Misalnya, ekosistem hutan bumi menyerap sekitar 30 persen emisi gas rumah kaca (Pan, 2011: 988–993), hutan menghasilkan bahan bakar kayu atau arang bagi sekitar 2,4 miliar penduduk dunia (FAO & UNEP, 2020), keragaman hayati terestrial sangat penting bagi planet Bumi.

Selain itu, ekosistem hutan menopang ketahanan pangan, air dan energi, serta kesehatan manusia. Namun, deforestasi dan degradasi hutan akhir-akhir ini melanda ekosistem hutan planet Bumi, sehingga lebih dari 40.000 spesies pohon sangat berisiko punah (Ter Steege, 2015).

Hasil riset D Coffey yang dirilis jurnal Science (2009) menyebutkan, penanaman satu triliun pohon dapat menyerap 225 miliar ton karbon atau 2/3 emisi karbon ke atmosfer hasil kegiatan manusia sejak Revolusi Industri abad 18-19 Masehi. Kini terdapat sekitar 73.000 spesies pohon pada 90 negara (Gatti, et al./PNAS, 2022). Dalam hal ini, strategi kehutanan sehat-lestari-berjenjang tentu sangat mendukung pertahanan dan keamanan negara, antara lain melalui program perawatan hutan pemelihara air, pemulihan hutan rusak, penanam-ulang hutan-hutan kritis, dan perlindungan hutan-hutan ulayat (rakyat).

Strategi dan program kehutanan sehat-lestari-berjenjang harus didukung oleh riset dan manajemen data, misalnya kuantifikasi deforestasi dan degradasi hutan, fasilitas riset guna konservasi dan proteksi hutan, pemantauan hutan, dan pembuatan kebijakan. García Pérez (2020) menyarankan tata-kelola data dan informasi kehutanan berbasis infrastruktur-siber.

Saat ini, Indonesia memiliki sekitar 3,36 juta ha atau 20 persen dari total hutan mangrove dunia. Masyarakat pesisir pantai dan pemerintah daerah dari sekitar 17.000 lebih pulau di Indonesia, perlu giat menanam dan merawat mangrove yang berfungsi mengurangi abrasi laut, memulihkan ekosistem pesisir pantai, dan mengurangi emisi karbon-dioksida (CO2).

Jadi, tata kelola hutan-hutan kita perlu sustainabel dan multi-guna sesuai karakter (sejarah, budaya, kearifan, pengetahuan lokal) per daerah di Indonesia. Strategi kehutanan sehat-lestari-berjenjang ini menjabarkan pula filosofi bhinneka tunggal ika (alam, manusia, dan tumbuhan) untuk pertahanan-keamanan negara.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com