Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hari Keanekaragaman Hayati Sedunia: Menengok Ulin yang Makin Langka di Hutan Kalimantan

Kompas.com - 22/05/2021, 18:00 WIB
Inten Esti Pratiwi

Penulis

KOMPAS.com - Setiap tanggal 22 Mei diperingati sebagai Hari Keanekaragaman Hayati Sedunia.

Adalah PBB, yang menetapkan 22 Mei sebagai Hari Keanekaragaman Hayati Internasional atau Internasional Day for Biological Diversity untuk meningkatkan pemahaman dan kewaspadaan masyarakat terhadap keanekaragaman hayati yang ada di dunia.

Tema peringatan Hari Keanekaragaman Hayati Sedunia di 2021 ini adalah "We're part of the solution" atau "Kita adalah bagian dari solusi".

Makna dari tema ini adalah, PBB mengajak seluruh masyarakat dunia untuk bersama-sama memikirkan solusi, menjadi pelaku solusi, dalam rangka melestarikan dan menyelamatkan lingkungan.

Baca juga: Ilmuwan: Kawasan Keanekaragaman Hayati Dipastikan Hancur akibat Perubahan Iklim

Keprihatinan FNPF

Friends of The National Parks Foundation atau FNPF di Pulau Kalimantan, mengemukakan beberapa keprihatinan dalam peringatan Hari Keanekaragaman Hayati Sedunia di tahun ini.

Salah satunya, adalah mengenai lahan dan jumlah pohon ulin yang semakin menipis di Pulau Kalimantan.

Ulin sendiri adalah vegetasi asli yang lebih dikenal dengan sebutan Kayu Besi Kalimantan. Kayu dari pohon ulin dari tahun ke tahun diburu untuk dijadikan bahan baku utama pembuatan rumah dan perumahan.

Seperti diberitakan Kompas.com (11/04/2020), di tahun 2020 saja diperkirakan populasi ulin yang masih bertahan di Kalimantan Selatan hanya di angka 20%.

Bagas Dwi Nugrahanto, Manager FNPF Kalimantan, mengatakan bahwa ulin sebenarnya sudah masuk ke dalam daftar pohon-pohon dalam kawasan hutan yang dilindungi sejak tahun 1972.

"Sejak awal berdirinya IUCN atau Uni Internasional untuk Konservasi Alam, ulin juga sudah langsung dimasukkan ke dalam daftar merah, masuk ke dalam tumbuhan langka dan endemis," begitu papar Bagas kepadaKompas.com, Kamis (22/05/2021) siang.

Baca juga: Cara Melestarikan Keanekaragaman Hayati di Indonesia

Proses pembudidayaan yang tak mudah

Pohon ulin usia 4 tahunDokumen FNPF Pohon ulin usia 4 tahun
Kelangkaan ulin disebabkan oleh banyak faktor. Pertama adalah banyaknya pihak yang memburu kayu dari pohon ini dan mengeksploitasinya secara besar-besaran untuk kebutuhan industri.

Yang kedua, pohon ulin juga pohon istimewa karena bukan pohon yang gampang dibudidayakan dengan cepat.

"Pohon ulin memiliki masa pertumbuhan sangat lama, perlu ratusan tahun untuk ulin bisa tumbuh tinggi besar. Rata-rata dalam setahun, pertumbuhan diameter pohon hanya berkisar sekitar 0,058 cm saja."

Proses perkecambahan ulin juga sangat lambat, yang membuat pohon ini sangat susah untuk dibudidayakan. 

Di samping itu, komposisi dan struktur tanah juga sangat menentukan keberlangsungan hidup dari bibit pohon ulin.

Jika ingin membudidayakan ulin, maka semua pihak harus bekerjasama memberikan perhatian lebih untuk keberlangsungan hidup bibit-bibit ulin.

Sayangnya, sampai saat ini belum ada kawasan khusus yang dijadikan sebagai area konsentrasi budidaya ulin.

"Terlebih, pada 28 Desember 2018, Menteri Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya, melalui Peraturan Nomor 106 Tahun 2018 tentang jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi, justru mengeluarkan 10 tanaman dari deret yang ada. Termasuk di dalamnya, adalah pohon ulin," pungkas Bagas Dwi Nugrahanto. 

Baca juga: Lindungi Keanekaragaman Hayati, Ilmuwan Berencana Bikin Daftar Spesies di Dunia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Arkeolog Temukan Buah Ceri yang Tersimpan Utuh Dalam Botol Kaca Selama 250 Tahun

Arkeolog Temukan Buah Ceri yang Tersimpan Utuh Dalam Botol Kaca Selama 250 Tahun

Tren
Beroperasi Mulai 1 Mei 2024, KA Lodaya Gunakan Rangkaian Ekonomi New Generation Stainless Steel

Beroperasi Mulai 1 Mei 2024, KA Lodaya Gunakan Rangkaian Ekonomi New Generation Stainless Steel

Tren
Pindah Haluan, Surya Paloh Buka-bukaan Alasan Dukung Prabowo-Gibran

Pindah Haluan, Surya Paloh Buka-bukaan Alasan Dukung Prabowo-Gibran

Tren
3 Skenario Timnas Indonesia U23 Bisa Lolos ke Olimpiade Paris

3 Skenario Timnas Indonesia U23 Bisa Lolos ke Olimpiade Paris

Tren
Hak Angket Masih Disuarakan Usai Putusan MK, Apa Dampaknya untuk Hasil Pilpres?

Hak Angket Masih Disuarakan Usai Putusan MK, Apa Dampaknya untuk Hasil Pilpres?

Tren
Daftar Cagub DKI Jakarta yang Berpotensi Diusung PDI-P, Ada Ahok dan Tri Rismaharini

Daftar Cagub DKI Jakarta yang Berpotensi Diusung PDI-P, Ada Ahok dan Tri Rismaharini

Tren
'Saya Bisa Bawa Kalian ke Final, Jadi Percayalah dan Ikuti Saya... '

"Saya Bisa Bawa Kalian ke Final, Jadi Percayalah dan Ikuti Saya... "

Tren
Thailand Alami Gelombang Panas, Akankah Terjadi di Indonesia?

Thailand Alami Gelombang Panas, Akankah Terjadi di Indonesia?

Tren
Sehari 100 Kali Telepon Pacarnya, Remaja Ini Didiagnosis “Love Brain'

Sehari 100 Kali Telepon Pacarnya, Remaja Ini Didiagnosis “Love Brain"

Tren
Warganet Sebut Ramadhan Tahun 2030 Bisa Terjadi 2 Kali, Ini Kata BRIN

Warganet Sebut Ramadhan Tahun 2030 Bisa Terjadi 2 Kali, Ini Kata BRIN

Tren
Lampung Dicap Tak Aman karena Rawan Begal, Polda: Aman Terkendali

Lampung Dicap Tak Aman karena Rawan Begal, Polda: Aman Terkendali

Tren
Diskon Tiket KAI Khusus 15 Kampus, Bisakah untuk Mahasiswa Aktif?

Diskon Tiket KAI Khusus 15 Kampus, Bisakah untuk Mahasiswa Aktif?

Tren
Lolos ke Semifinal Piala Asia U23 2024, Indonesia Hentikan Rekor Korsel Lolos ke Olimpiade

Lolos ke Semifinal Piala Asia U23 2024, Indonesia Hentikan Rekor Korsel Lolos ke Olimpiade

Tren
6 Kelompok Orang yang Tidak Dianjurkan Mengonsumsi Kafein, Siapa Saja?

6 Kelompok Orang yang Tidak Dianjurkan Mengonsumsi Kafein, Siapa Saja?

Tren
Istri Bintang Emon Positif 'Narkoba' Usai Minum Obat Flu, Kok Bisa?

Istri Bintang Emon Positif "Narkoba" Usai Minum Obat Flu, Kok Bisa?

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com