Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Olahraga Berlebihan Berbahaya, Ini Cara Mengukur Kemampuan Tubuh Berolahraga

Kompas.com - 16/03/2022, 07:30 WIB
Diva Lufiana Putri,
Inten Esti Pratiwi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Olahraga merupakan bagian dari gaya hidup sehat. Namun, olahraga yang berlebihan justru akan menimbulkan sejumlah masalah.

Olahraga berlebihan bisa merusak tubuh. Sehingga tujuan awal yaitu membentuk tubuh yang bugar akan semakin jauh dari angan.

Apa yang akan terjadi ketika seseorang berolahraga dalam porsi berlebihan?

Dan bagaimana kita tahu jika porsi olahraga kita sudah benar atau malah terlalu ekstrem?

Baca juga: Kapan Waktu Terbaik Berolahraga? Ini Plus Minus Olahraga di Pagi, Sore, dan Malam Hari

Olahraga berlebihan merusak tubuh

Dokter spesialis kedokteran olahraga dari Slim + Health Sports Therapy, Michael Triangto, menjelaskan beberapa hal terkait olahraga yang berlebihan.

Michael menganalogikan tubuh seperti halnya baju. Baju yang tidak pernah dipakai dapat rusak dan rapuh. Sementara baju yang dipakai terus-menerus pun juga bisa rawan cepat rusak.

“Hal yang sama terjadi pada tubuh kita. Tubuh kita dibangun oleh tulang-tulang, otot, sendi, dan kulit. Kalau kita menggerakkan kaki berlebihan saja bisa sakit dan langsung diurut,” ujarnya saat dihubungi Kompas.com pada Senin (14/3/2022) malam.

Menurutnya, masyarakat seringkali memiliki pola pikir bahwa tidak berolahraga tidak sehat, berolahraga akan menjadi sehat, dan olahraga berlebihan akan menjadi super sehat.

Pola pikir yang demikian juga melahirkan anggapan bahwa olahraga harus melelahkan, pegal, dan berkeringat.

Anggapan tersebut, menurut Michael, memang benar jika dikhususkan untuk atlet. Sementara untuk orang biasa yang ingin sehat, tidak perlu berolahraga hingga memaksakan diri.

“Bahkan ada motto no pain no gain. Tapi sebenarnya itu benar untuk atlet. Jadi olahraga untuk kesehatan, itu tidak boleh berlebihan,” katanya.

Baca juga: Bolehkah Minum Air Dingin Setelah Olahraga? Ini Manfaatnya untuk Tubuh

Fokus ke tujuan berolahraga

Michael menerangkan, olahraga memiliki beberapa tujuan.

Untuk tujuan kesehatan, olahraga berlebihan pasti tidak baik dan menimbulkan beberapa masalah seperti cedera, dehidrasi, serangan jantung, bahkan meninggal dunia.

Namun jika menilik dari sisi prestasi, seorang atlet memang dituntut untuk olahraga secara berlebihan. Bahkan, jika mengalami cedera pun itu sudah bagian dari risiko.

Saran dari Michael, sebelum berolahraga cobalah untuk fokus pada satu tujuan olahraga yang ingin dicapai. Baru kemudian, susun agenda olahraga.

“Saya mau sehat. Berat badan dulu lebih, sekarang normal. Saya mau sehat karena tekanan darah tinggi, setelah berlatih berapa lama, tekanan darah dia turun. Itu baru mau sehat. Tidak ada mau sehat tapi dia memenangkan medali,” jelas Michael.

Baca juga: Berapa Lama Durasi Olahraga untuk Lansia?

Kapan harus berhenti berolahraga?

Khusus untuk mereka yang bertujuan sehat, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menganjurkan untuk berolahraga dengan intensitas ringan hingga sedang selama 150 menit per minggu.

“Jadi sebenarnya simpel. Olahraga 30 menit kali lima hari dalam seminggu. Kalau sanggup lebih, silakan. Boleh ditambah sampai satu jam per harinya,” kata Michael.

Michael mengingatkan, bagi yang tidak sanggup berolahraga hingga 150 menit per minggu, tidak perlu memaksakan diri.

“Lihat lagi goalnya, apakah tensinya turun, nadinya menjadi lebih normal, gula darahnya menjadi lebih baik. Semampunya berapa, kalau saat ini mampunya berapa, mampu 10 menit per hari, ya sudah lakukan,” ujarnya.

Durasi olahraga yang tepat adalah sekitar 150 menit dalam seminggu.Unsplash/Anastasia Hisel Durasi olahraga yang tepat adalah sekitar 150 menit dalam seminggu.
Olahraga dengan tujuan sehat harus dilakukan dengan memperhatikan masing-masing kondisi tubuh.

Adapun cara mengukur kondisi tubuh dan intensitas saat berolahraga, dapat dilakukan dengan mengukur denyut jantung.

Saat berolahraga, imbuhan dari Michael, intensitas denyut jantung harus berada di angka 50-70 persen dari denyut jantung maksimal. Angka tersebut sebagai batas aman agar jantung tak bekerja terlalu lelah.

Berikut rumus menghitung intensitas denyut jantung saat berolahraga:

  • 220 dikurangi usia dalam tahun. Hasilnya merupakan 100 persen denyut jantung.
  • Selanjutnya, kalikan dengan 50 persen dan 70 persen untuk mendapatkan batas aman denyut jantung saat berolahraga.

Misalnya, usia saat ini adalah 20 tahun. Maka, denyut jantung 100 persen adalah 220 - 20 tahun = 200 beats per minutes (bpm).

Selanjutnya, kalikan dengan 50 persen dan 70 persen. Maka, menghasilkan 100 bpm dan 140 bpm sebagai batas aman denyut jantung saat berolahraga.

Michael mengatakan, jika kurang dari batas aman artinya olahraga masih terlalu ringan dan belum berpengaruh pada kesehatan.

Sementara jika melebihi batas aman atau 70 persen, akan membahayakan jantung dan berisiko fatal.

“Kalau mau berlebihan ya siap-siap bisa kena serangan jantung. Bukannya sehat malah cari masalah,” pungkasnya.

Baca juga: Olahraga yang Tepat untuk Penderita Asam Lambung

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Ratusan Mobil Dinas Pemprov Banten Senilai Rp 25 M Hilang dan Menunggak Pajak Rp 1,2 M

Ratusan Mobil Dinas Pemprov Banten Senilai Rp 25 M Hilang dan Menunggak Pajak Rp 1,2 M

Tren
La Nina Diprediksi Muncul Juni, Apa Dampaknya bagi Indonesia?

La Nina Diprediksi Muncul Juni, Apa Dampaknya bagi Indonesia?

Tren
Ilmuwan Deteksi Planet Layak Huni Seukuran Bumi

Ilmuwan Deteksi Planet Layak Huni Seukuran Bumi

Tren
Update Kasus Vina: Pengakuan Adik, Ayah, dan Ibu Pegi soal Nama Robi

Update Kasus Vina: Pengakuan Adik, Ayah, dan Ibu Pegi soal Nama Robi

Tren
Kelompok Pekerja yang Gajinya Dipotong 2,5 Persen untuk Tapera, Siapa Saja?

Kelompok Pekerja yang Gajinya Dipotong 2,5 Persen untuk Tapera, Siapa Saja?

Tren
Ditutup Juni 2024, Ini yang Terjadi jika Tidak Lakukan Pemadanan NIK dengan NPWP

Ditutup Juni 2024, Ini yang Terjadi jika Tidak Lakukan Pemadanan NIK dengan NPWP

Tren
13 Wilayah Indonesia yang Memasuki Awal Musim Kemarau pada Juni 2024

13 Wilayah Indonesia yang Memasuki Awal Musim Kemarau pada Juni 2024

Tren
7 Sarapan Sehat untuk Penderita Asam Lambung, Tidak Bikin Perut Perih

7 Sarapan Sehat untuk Penderita Asam Lambung, Tidak Bikin Perut Perih

Tren
Prakiraan BMKG: Wilayah yang Berpotensi Dilanda Hujan Lebat, Petir, dan Angin Kencang pada 29-30 Mei 2024

Prakiraan BMKG: Wilayah yang Berpotensi Dilanda Hujan Lebat, Petir, dan Angin Kencang pada 29-30 Mei 2024

Tren
[POPULER TREN] Gaji Buruh Dipotong Tapera, Mulai Kapan? | Profil Rwanda, Negara Terbersih di Dunia

[POPULER TREN] Gaji Buruh Dipotong Tapera, Mulai Kapan? | Profil Rwanda, Negara Terbersih di Dunia

Tren
Jaga Kesehatan, Jemaah Haji Diimbau Umrah Wajib Pukul 22.00 atau 09.00

Jaga Kesehatan, Jemaah Haji Diimbau Umrah Wajib Pukul 22.00 atau 09.00

Tren
Sisa Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama 2024, Ada Berapa Tanggal Merah?

Sisa Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama 2024, Ada Berapa Tanggal Merah?

Tren
4 Tanda yang Menunjukkan Orangtua Psikopat, Apa Saja?

4 Tanda yang Menunjukkan Orangtua Psikopat, Apa Saja?

Tren
SIM Diganti NIK Mulai 2025, Kapan Masyarakat Harus Ganti Baru?

SIM Diganti NIK Mulai 2025, Kapan Masyarakat Harus Ganti Baru?

Tren
Dirjen Dikti: Rektor Harus Ajukan UKT 2024 dan IPI Tanpa Kenaikan

Dirjen Dikti: Rektor Harus Ajukan UKT 2024 dan IPI Tanpa Kenaikan

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com