KOMPAS.com - Majelis Ulama Indonesia (MUI) akhirnya membolehkan saf shalat berjemaah kembali dirapatkan tanpa menjaga jarak.
Sebagaimana diketahui, sejak pandemi Covid-19, MUI telah mengeluarkan fatwa Nomor 31 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Shalat Jumat dan Jamaah untuk Mencegah Penularan Covid-19.
Mengacu pada fatwa tersebut, sebagai upaya mencegah penularan Covid-19, penerapan physical distancing saat shalat berjemaah dengan cara merenggangkan saf, hukumnya boleh.
Menurut MUI, shalat tetap sah dan tidak kehilangan keutamaan berjemaah lantaran kondisi pandemi sebagai hajat syar’iyyah.
Keputusan MUI membolehkan merapatkan saf shalat berjemaah, artinya mengembalikan tata cara shalat berjemaah sebagaimana sebelum pandemi Covid-19 dan aturan menjaga jarak diterapkan.
Berikut penjelasan MUI soal aturan saf shalat yang kembali dirapatkan:
Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas menjelaskan, keputusan MUI tersebut menilik pada pernyataan pemerintah terkait Covid-19 yang sudah mulai melandai.
Pemerintah juga melihat potensi bahaya yang ditimbulkan Covid-19 khususnya varian Omicron, tidak seberat dulu.
Hal tersebut, imbuh Abbas, ditandai dengan saat ini pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan perjalanan dan penerbangan domestik yang tidak mensyaratkan tes PCR maupun antigen lagi.
“Ini semua berarti bahwa pemerintah melihat keadaan sudah dianggap aman,” kata Abbas kepada Kompas.com (10/3/2022).
Namun demikian, MUI tetap mengharapkan masyarakat tetap memakai masker sebagai bentuk kewaspadaan dan usaha untuk menjaga serta melindungi diri.
“MUI mengharapkan untuk beberapa waktu ke depan masyarakat diharapkan tetap masih memakai masker sebagai bentuk kewaspadaan dan usaha kita untuk menjaga dan melindungi diri kita masing-masing,” pesannya.
Baca juga: Syarat Naik Kereta Jarak Jauh dan KA Lokal Terbaru, Berlaku Mulai 9 Maret 2022
Sementara itu, Ketua Bidang Fatwa MUI Asrorun Niam Soleh menuturkan, aturan menjaga jarak yang diberlakukan saat shalat berjemaah selama pandemi Covid-19 bersifat rukhsah atau dispensasi karena ada udzur atau halangan untuk mencegah penularan.
Lebih lanjut, Niam menjelaskan, dengan melandainya kasus serta pelonggaran aktivitas sosial, maka udzur yang menjadi dasar adanya dispensasi sudah hilang.