Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hamid Awaludin

Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Duta Besar Indonesia untuk Rusia dan Belarusia.

Bagaimana jika Janji Sumbangan Rp 2 Triliun Tidak Direalisasikan?

Kompas.com - 04/08/2021, 21:32 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Abraham Lincoln van Parepare, sehari-hari disapa Aam, adalah aktivis segala cuaca.

Aam menelepon kerabatnya dengan nada kesal, Virginia Rose van Macassar (Gina), juga aktivis sejuta agenda.

Aam kesal karena sudah sepekan tidak ada lagi obat sakit kepala, pusing, atau pening. Segala merek dan jenis obat untuk itu sontak hilang di pasar.

Pasti ada yang menimbun ini, kata Aam penuh tudingan.

"Sabar Aam, obat sakit kepala memang sudah tidak ada di pasar sekarang. Bukan karena ada yang menimbun, tapi kebutuhan mendadak meningkat," kata Gina mencoba menenangkan Aam.

Pasalnya, sejak kasus sumbangan Rp 2 triliun menyeruak ke publik selama sepekan terakhir ini, banyak orang pusing, sakit kepala, dan pening memikirkannya. Kapan ya pencairannya?

Bagaimana mungkin, di tengah deraan Covid-19 yang mengimpit kehidupan rakyat, masih ada orang yang tega membodohi rakyat.

Tidak etis dan tidak bermoral, kata Gina. Nah, ini yang membuat orang ramai-ramai membeli obat sakit kepala, lanjut Gina lagi kepada Aam.

Kisah tentang sumbangan Rp 2 triliun yang menyeruak di Kepolisian Daerah Sumatera Selatan itu kini pelan-pelan kian terkuak.

Semua itu bak sandiwara, penuh kesimpangsiuran, ketidakbenaran, dan ada aroma penipuan.

Ironisnya, yang ditipu berkali-kali karena janji pencairan tidak direalisasikan adalah rakyat banyak. Bukan orang per orang.

Lebih ironis lagi, sebagaimana yang lalu-lalu, sejumlah pejabat ikut menari, mengikuti irama gendang para pemberi janji itu. Kian lengkap babak sandiwara pembodohan terhadap rakyat.

Kesinambungan masa silam

Saya tiba-tiba teringat peristiwa pada tahun 2018, tatkala Sulawesi Tengah diterjang oleh bencana likuifaksi.

Layla berpose di depan rumahnya yang rusak akibat gempa dan tsunami di Lere, Palu, Sulawesi Tengah, Senin (8/10/2018). Para penyintas berusaha tegar untuk mencoba membangun kembali kehidupan pasca-gempa dahsyat yang disusul gelombang tsunami dan likuifaksi pada 28 September 2018 di sejumlah wilayah di Sulawesi Tengah.ANTARA FOTO/WAHYU PUTRO A Layla berpose di depan rumahnya yang rusak akibat gempa dan tsunami di Lere, Palu, Sulawesi Tengah, Senin (8/10/2018). Para penyintas berusaha tegar untuk mencoba membangun kembali kehidupan pasca-gempa dahsyat yang disusul gelombang tsunami dan likuifaksi pada 28 September 2018 di sejumlah wilayah di Sulawesi Tengah.
Di tahun yang sama, Nusa Tenggara Barat porak poranda karena bencana alam. Rakyat menjadi korban bencana alam.

Seorang konglomerat besar tiba-tiba datang berkunjung, menunjukkan empati. Ia disambut hangat oleh para pejabat negara di daerah.

Sebagaimana diberitakan oleh berbagai media ketika itu, ia langsung menjanjikan akan mengoordinasi para pebisnis besar untuk mengumpulkan uang sebanyak Rp 2 triliun untuk kedua provinsi tersebut.

Konglomerat itu sendiri akan mengeluarkan Rp 100 miliar dari kantongnya. Hebat. Tepuk tangan. Rasa kagum membuncah.

Setahun sudah janji itu berlalu. Realisasi tak kunjung datang. Rakyat di kedua provinsi tersebut mendesak dan menggugat pemerintah daerah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com