Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hamid Awaludin

Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Duta Besar Indonesia untuk Rusia dan Belarusia.

Bagaimana jika Janji Sumbangan Rp 2 Triliun Tidak Direalisasikan?

Kompas.com - 04/08/2021, 21:32 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Tak mau dituding dan direcoki oleh rakyat yang telanjur menerima janji, Gubernur Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Barat, pada Juli dan Agustus 2019, menyurati pemberi janji, menagih segala yang dijanjikan di depan publik.

Kedua gubernur tersebut secara eksplisit menagih 1.500 rumah hunian untuk masing-masing provinsi dan pembangunan pasar basah.

Mendapat tagihan, pemberi janji mengatakan dalam surat bahwa ia tidak pernah menjanjikan pembangunan 1.500 unit rumah di Palu.

Ia hanya mengirimkan Rp 5 miliar untuk membangun kembali 100 rumah, yang nilainya Rp 50 juta per rumah.

Jangan lupa, selain Rp 5 miliar tersebut, pemberi janji tadi datang dengan pesawat pribadi membawa makanan cepat saji untuk dibagikan ke rakyat.

Saya salut, karena inisiatif membagi-bagi makanan ini. Sangat empatik.

Yang jadi soal, janji mengeluarkan Rp 100 miliar tak kunjung datang. Bagaimana janji Rp 2 triliun lantas seperti terbang.

Singkat cerita, yang Rp 2 triliun itu tidak pernah ada. Sama dengan nihilnya janji Rp 2 triliun Akidi Tio ke masyarakat di Sumatera Selatan.

Pemberi janji boleh-boleh saja menyangkal janji-janji itu, apalagi penyangkalan tersebut dilakukan dengan surat. Bagaimana dengan ucapannya yang dimuat di media massa?

Apakah ia sebaiknya juga menyangkal melalui media massa. Biar tidak terbebani. Biar semuanya jadi jelas. Tidak dengan bisik-berbisik. Tidak dengan gunjingan.

Pemberi janji sebaiknya menjelaskan ke publik melalui media mengapa ia tak bisa menghadirkan Rp 2 triliun itu. Misalnya, sulit mengumpulkan para konglomerat. Ataukah ada alasan lain.

Pelik memang hidup di era digital sekarang. Segala ucapan dan gerak-gerik badan tersimpan dengan jejak jelas. Pelik menganulirnya.

Lagi pula, penyangkalan pemberi janji tersebut muncul setahun kemudian, setelah ia ditagih.

Apa konsekuensinya?

Lantas, apa konsekuensi yuridis dari janji-janji ke publik tersebut?

Tentu ada yang mengatakan, janji bukan utang piutang, yang bila tidak dipenuhi, bisa dianggap wanprestasi (ingkar). Malah, mungkin ada yang berkata, syukurlah kalian sempat saya beri janji.

Saya tidak sepaham dengan anggapan di atas.

Hukum perdata kita jelas mengatakan, perjanjian itu tidak harus tertulis.

Perjanjian dapat berupa perjanjian cuma-cuma, yakni hanya pihak yang diberilah yang beruntung, dan perjanjian atas beban, yang berarti, pemberi janji dan yang diberi janji, secara timbal balik mendapatkan keuntungan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com