Pasal 169 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan, pekerja/buruh dapat mengajukan PHK kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika perusahaan, di antaranya menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam.
Pengajuan PHK juga bisa dilakukan jika perusahaan tidak membayar upah tepat waktu selama tiga bulan berturut-turut atau lebih. Ketentuan itu diikuti ayat (2) yang menyatakan pekerja akan mendapatkan uang pesangon dua kali, uang penghargaan masa kerja satu kali, dan uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 156.
Namun, Pasal 169 ayat (3) menyebut, jika perusahaan tidak terbukti melakukan perbuatan seperti yang diadukan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka hak tersebut tidak akan didapatkan pekerja. Pasal 169 ini seluruhnya dihapus dalam UU Cipta Kerja.
Baca juga: Covid-19, Resesi Ekonomi, dan Perubahan Budaya Kerja
Sempat terjadi ketegangan setelah pembacaan hasil kesepakatan dalam Badan Musyawarah (Bamus) oleh Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Adi Atgas.
Penyebabnya, pimpinan rapat paripurna langsung memberi penawaran kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto untuk memberikan pandangan akhir sebelum mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi UU.
Baca juga: Irjen Firli, dari Deputi Penindakan KPK, Kapolda Sumsel hingga Kontroversi Jadi Capim KPK
Kemudian, tawaran kedua, pandangan-pandangan fraksi akan dapat disampaikan setelah pemaparan Airlangga. Interupsi pun diajukan anggota Fraksi Partai Demokrat, Benny K. Harman.
"Sesuai dengan mekanisme, sesuai dengan undang-undang, sesuai dengan konvensi yang berlaku di dewan dan apa yang telah disepakati. Kami mohon biarkan kesempatan diberikan kepada fraksi-fraksi untuk menyampaikan pandangan dan sikapnya," kata Benny.
"Ini RUU yang kami anggap sangat penting dan juga ingin supaya publik tahu paling tidak mengapa fraksi kami menyatakan penolakannya terhadap RUU ini. Setelah itu, Menko mewakili Presiden berkenan menyampaikan pandangan dan sikapnya," lanjutnya.
Namun, usul tersebut tidak langsung disetujui oleh sejumlah peserta dan pimpinan rapat.
Baca juga: Kontroversi Aceng Fikri, Ceraikan Istri Lewat SMS hingga Terjaring Razia Satpol PP
Buntut disahkannya UU Cipta Kerja membuat banyak pihak melakukan penolakan melalui aksi demontrasi hingga berakhir ricuh.
Salah satunya seperti yang terjadi di Bandung, Jawa Barat. Namun, kata Kapolrestabes Bandung Kombes Ulung Sampurna Jaya, demonstran yang membuat kerusuhan bukan dari kelompok buruh dan mahasiswa.
Hal itu dikatakan Ulung terkait aksi unjuk rasa penolakan Undang-Undang Cipta Kerja di Bandung yang berakhir ricuh pada Selasa (6/10/2020).
Baca juga: 5 Alasan Mengapa RUU HIP Mendapat Penolakan Berbagai Pihak
Menurut Ulung, ada 10 orang yang ditangkap atas kerusuhan tersebut.
"Kemungkinan ada 10 orang yang diamankan oleh Tim Prabu dan Reserse, kita akan lakukan pemeriksaan terhadap mereka dan dari kelompok mana mereka berasal," kata Ulung kepada wartawan, Selasa (6/10/2020) malam.
Ulung mengatakan, setelah mahasiswa melakukan demonstrasi, ada massa lain yang datang ke depan Gedung DPRD Jabar untuk melakukan unjuk rasa.
"Diperkirakan dari kelompok lain yang bukan mahasiswa, sehingga mereka tadi dorong-dorongan dengan anggota dan berupaya menguasai Gedung Dewan, serta penimpukan," ujar Ulung.
Baca juga: Nasib Buruh di Tengah Pandemi Covid-19: Dari PHK hingga Kartu Prakerja