Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal TikTok, Aplikasi yang Akan Dilarang Trump

Kompas.com - 04/08/2020, 19:31 WIB
Retia Kartika Dewi,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Presiden AS Donald Trump mengungkapkan akan melarang penggunaan aplikasi TikTok di AS.

Pemerintah AS menganggap TikTok berisiko untuk keamanan negara karena potensi ancaman terhadap intelijen dan masalah privasi.

Diketahui, Trump juga dilaporkan menentang akuisisi terkait Microsoft yang sedang bernegosiasi untuk membeli aplikasi TikTok dari perusahaan induknya, ByteDance.

Baca juga: Mengapa TikTok Begitu Digandrungi dan Bahkan Membuat Kecanduan?

Tak hanya populer di AS, TikTok juga banyak dipakai oleh sejumlah masyarakat di Indonesia.

Lantas, apa itu TikTok dan apa saja dampak dari penggunaan aplikasi ini?

Dilansir dari The Guardian (16/7/2020), TikTok merupakan aplikasi berbagi video yang mirip dengan Snapchat dan Instagram yang memungkinkan pengguna memposting video berdurasi 15-60 detik. Umumnya video itu memiliki musik atau dialog film.

Setelah diunggah, video tersebut juga dapat disukai dan dicari melalui tagar dan dibagikan kepada orang lain.

Awalnya, TikTok dimulai sebagai Musical.ly, yang semakin populer sebagai aplikasi sinkronisasi bibir.

Baca juga: Kisah di Balik APD Fashionable yang Viral di Medsos...

Perusahaan China, ByteDance membeli aplikasi pada 2018 dan meluncurkannya kembali dengan fitur tambahan.

Sejak itu, aplikasi ini booming dan dikenal sebagai aplikasi yang paling banyak diunduh secara global pada kuartal pertama 2020.

Secara keseluruhan, aplikasi ini telah diunduh kira-kira 2 miliar kali dan basis penggunanya diminati oleh kalangan muda yakni sebanyak 41 persen dengan usia 16-24 tahun.

Baca juga: Viral Joget TikTok di Acara Pernikahan, Ini Ceritanya...

Permasalahan

Meski terbilang populer, muncul kekhawatiran, karena perusahaan induk TikTok, ByteDance berbasis di China di mana perusahaan dapat berbagi data pengguna dengan pemerintah China, baik secara sengaja melalui permintaan data atau tidak sengaja melalui perangkat lunak pengawasan.

Hal inilah yang memunculkan kekhawatiran privasi umum tentang berapa banyak data yang dikumpulkan TikTok dari perangkat pengguna.

“Kekhawatirannya adalah bahwa informasi di TikTok dapat memberikan lebih banyak rincian daripada yang dimaksudkan tentang keberadaan orang atau apa yang mereka lakukan," ujar Kepala Analitik Keamanan di Perusahaan CyberSecurity Vectra, Chris Morales.

Baca juga: Fenomena Polisi dan TNI Pamer Senjata di Medsos, Ini Penjelasan Sosiolog

"Secara teori, Anda dapat melacak seseorang ke suatu lokasi, seperti pangkalan militer atau instalasi pemerintah," lanjut dia.

Selain itu, muncul kekhawatiran lain tentang TikTok yakni aplikasi tersebut memungkinkan terjadinya pelanggaran privasi dan keamanan.

Pada 2020, TikTok dikabarkan telah menambal beberapa kelemahan utama, termasuk kondisi yang memungkinkan penyerang mengontrol akun orang lain, mengunggah video yang tidak layak, membuat video privat menjadi publik, dan menghapus video yang ada.

Baca juga: Viral Obat Bius Perangsang Wanita Dijual Bebas di Medsos, Ini Bahayanya...

Apakah kekhawatiran ini normal?

Sebuah penelitian menunjukkan, TikTok memang mengumpulkan sejumlah besar data pengguna.

Untuk mendaftarkan diri dalam suatu akun, pengguna harus memberikan email, nomor telepon, dan tautan ke akun media sosial lainnya.

Menurut sebuah studi perusahan keamanan siber mobile yang berbasis di San Francisco, aplikasi itu sendiri memerlukan izin untuk lokasi pengguna, rekaman audio dan kamera, serta kontak.

Baca juga: Bukan China, India Jadi Episentrum Baru Virus Corona di Asia

Dari beberapa permintaan itu, dinilai lebih banyak data daripada yang dikumpulkan perusahaan seperti Twitter dan Facebook.

Manajer Solusi Keamanan Lookout, Hank Schless menyampaikan, dengan banyaknya informasi itu dapat dengan mudah digunakan untuk mengindentifikasi dan melacak tindakan orang-orang tertentu yang menggunakan aplikasi.

"Faktanya, TikTok dimiliki oleh perusahaan China membuatnya menjadi masalah keamanan yang sah," ujar Schless.

Baca juga: Ramai di Medsos Gubernur Riau Pelesiran ke Thailand Saat Kabut Asap, Ini Penjelasannya...

Agresif

Diketahui, China jauh lebih agresif daripada pemerintah lain dalam memaksa perusahaan untuk berbagi informasi, dan ByteDance, telah bekerja dengan pasukan polisi setempat di Xinjiang.

TikTok membantah berbagi informasi dengan pemerintah China dan menjauhkan diri dari ByteDance, mempekerjakan mantan eksekutif Disney yang berpusat di California, Kevin Mayer sebagai chief executive officer pada Mei 2020.

Tetapi penelitian telah menemukan alasan untuk memprihatinkan.

Baca juga: Saat Pentagon Beda Pendapat dengan Trump...

Satu laporan dari perusahaan keamanan Penetrum menemukan, mayoritas data aplikasi dapat ditelusuri ke server di China yang diselenggarakan oleh Alibaba, yang telah memiliki pelanggaran keamanan di masa lalu dan berbagi informasi pribadi penggunanya dengan pihak ketiga, sesuai dengan kebijakan privasi.

Server yang berbasis di Cina juga akan berada di bawah yurisdiksi China dan karenanya lebih mudah tunduk pada permintaan data.

"Dari pemahaman dan analisis kami, tampaknya TikTok melakukan pelacakan berlebihan pada penggunanya, dan bahwa data yang dikumpulkan sebagian jika tidak sepenuhnya disimpan di server China dengan ISP Alibaba," ujar laporan Penetrum.

Baca juga: Riset AS Ungkap Pria Botak Berisiko Lebih Tinggi Terkena Covid-19

Siapa saja yang telah melarang penggunaan TikTok?

Pihak Wells Fargo, salah satu bank terbesar di AS, mengumumkan akan mewajibkan karyawannya untuk me-uninstall TikTok dari gadget mereka.

Sementara, Amazon mengatakan kepada karyawannya untuk melakukan hal yang sama sejak minggu lalu.

Selain itu, Pemerintah India juga melarang TikTok dan 50 aplikasi lain yang berbasis di China pada Juni 2020, dan menyebut aplikasi-aplikasi itu sebagai ancaman terhadap kedaulatan dan integritas.

Baca juga: Donald Trump Terkena Impeachment, Apa Itu?

Pekan lalu, Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo menyampaikan, pemerintahan Trump tengah melihat pelarangan aplikasi di AS dengan alasan yang sama.

Di sisi lain, tentara AS dan angkatan laut menginstruksikan anggota layanan untuk menghapus aplikasi dari perangkat meliter pada Desember.

Dan pada Maret, dua senator dari partai Republik memperkenalkan undang-undang yang akan melarang karyawan federal menggunakan TikTok pada telepon kantor yang dikeluarkan pemerintah.

Baca juga: 5 Fakta Terkait Pemakzulan Donald Trump

Hubungan yang rumit

AS dan India masing-masing memiliki hubungan yang rumit dengan China, dengan Washington dan Beijing terkunci dalam perang dagang selama bertahun-tahun yang menunjukkan sedikit tanda-tanda reda.

Pada 2019, administrasi Trump melarang produk dari perusahaan Cina Huawei dari AS dan hanya minggu ini mengancam sanksi terhadap karyawan perusahaan.

Sementara itu, larangan India terhadap TikTok terjadi setelah konfrontasi dengan kekerasan antara pasukan India dan China.

"Ini adalah badai sempurna pertemuan teknologi persaingan geopolitik," kata seorang profesor ilmu komputer di Vanderbilt University, Douglas Schmidt.

"Hal-hal semacam ini digunakan sebagai taktik tawar-menawar dalam negosiasi perdagangan geopolitik," lanjut dia.

Baca juga: Melihat Kondisi Mumbai, Kota Paling Terpukul Covid-19 di India...

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Media Asing Soroti Banjir Bandang Sumbar, Jumlah Korban dan Pemicunya

Media Asing Soroti Banjir Bandang Sumbar, Jumlah Korban dan Pemicunya

Tren
Sejarah Lari Maraton, Jarak Awalnya Bukan 42 Kilometer

Sejarah Lari Maraton, Jarak Awalnya Bukan 42 Kilometer

Tren
Rekonfigurasi Hukum Kekayaan Intelektual terhadap Karya Kecerdasan Buatan

Rekonfigurasi Hukum Kekayaan Intelektual terhadap Karya Kecerdasan Buatan

Tren
Basuh Ketiak Tanpa Sabun Diklaim Efektif Cegah Bau Badan, Benarkah?

Basuh Ketiak Tanpa Sabun Diklaim Efektif Cegah Bau Badan, Benarkah?

Tren
BPJS Kesehatan Tegaskan Kelas Pelayanan Rawat Inap Tidak Dihapus

BPJS Kesehatan Tegaskan Kelas Pelayanan Rawat Inap Tidak Dihapus

Tren
Cara Memindahkan Foto dan Video dari iPhone ke MacBook atau Laptop Windows

Cara Memindahkan Foto dan Video dari iPhone ke MacBook atau Laptop Windows

Tren
Video Viral Pusaran Arus Laut di Perairan Alor NTT, Apakah Berbahaya?

Video Viral Pusaran Arus Laut di Perairan Alor NTT, Apakah Berbahaya?

Tren
Sosok Rahmady Effendi Hutahaean, Eks Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta yang Dilaporkan ke KPK

Sosok Rahmady Effendi Hutahaean, Eks Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta yang Dilaporkan ke KPK

Tren
Harta Eks Kepala Bea Cukai Purwakarta Disebut Janggal, Benarkah Hanya Rp 6,3 Miliar?

Harta Eks Kepala Bea Cukai Purwakarta Disebut Janggal, Benarkah Hanya Rp 6,3 Miliar?

Tren
5 Potensi Efek Samping Minum Susu Campur Madu yang Jarang Diketahui

5 Potensi Efek Samping Minum Susu Campur Madu yang Jarang Diketahui

Tren
5 Penyebab Anjing Peliharaan Mengabaikan Panggilan Pemiliknya

5 Penyebab Anjing Peliharaan Mengabaikan Panggilan Pemiliknya

Tren
8 Fakta Penggerebekan Laboratorium Narkoba di Bali, Kantongi Rp 4 Miliar

8 Fakta Penggerebekan Laboratorium Narkoba di Bali, Kantongi Rp 4 Miliar

Tren
UPDATE Banjir Sumbar: 50 Orang Meninggal, 27 Warga Dilaporkan Hilang

UPDATE Banjir Sumbar: 50 Orang Meninggal, 27 Warga Dilaporkan Hilang

Tren
Rusia Temukan Cadangan Minyak 511 Miliar Barel di Antarktika, Ancam Masa Depan Benua Beku?

Rusia Temukan Cadangan Minyak 511 Miliar Barel di Antarktika, Ancam Masa Depan Benua Beku?

Tren
Duduk Perkara Kepala Bea Cukai Purwakarta Dibebastugaskan, Buntut Harta Kekayaan Tak Wajar

Duduk Perkara Kepala Bea Cukai Purwakarta Dibebastugaskan, Buntut Harta Kekayaan Tak Wajar

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com