Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

[KLARIFIKASI] Penjelasan soal Penanganan Covid-19 di Indonesia, Bukan Herd Immunity

Kompas.com - 30/05/2020, 10:44 WIB
Tim Cek Fakta

Penulis

klarifikasi

klarifikasi!

Berdasarkan verifikasi Kompas.com sejauh ini, ada yang perlu diluruskan terkait informasi ini.

"Pertanyaannya apakah kita pakai itu? Jawabannya tidak," ujar Yuri.

Ia juga memastikan, ke depannya strategi tersebut tidak akan digunakan.

"Tidak, tidak (ke depannya tidak digunakan)," lanjut dia.

Bantahan yang sama juga disampaikan pihak Istana melalui Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Donny Gahral.

Donny menegaskan, rencana pemerintah melakukan relaksasi PSBB bukan bertujuan untuk memunculkan kekebalan kelompok.

"Tidak benar akan ada herd immunity karena protokol kesehatan tetap dilakukan. Ketika orang berada di luar pun nanti ketika pelonggaran, tidak serta merta orang keluar rumah tanpa pakai masker, berkerumun, dan tidak menjaga jarak," kata Donny, seperti diberitakan Kompas.com, 13 Mei 2020.

Sementara itu, ahli epidemiologi Pandu Riono berpandangan, penerapan new normal tidak bisa diartikan sebagai upaya menerapkan strategi herd immunity.

Ia mengatakan, herd immunity dan istilah new normal yang digulirkan oleh pemerintah adalah dua hal yang berbeda.

"Kalau new normal kan kalau nanti sudah dikurangi pembatasannya, maka kita akan mengadopsi perilaku hidup yang berbeda agar menekan risiko penularan virus, seperti selalu pakai masker, dan lain-lain. Itu pun akan dilakukan bertahap setelah pesyaratan pelonggaran terpenuhi," kata Pandu.

Ia tak yakin pemerintah akan menempuh opsi herd immunity. Apa alasannya?

"Kalau memang ada pembiaran secara sistematik agar banyak masyarakat terinfeksi, ya bisa dianggap seperti itu. Tetapi, itu tidak mungkin karena herd immunity hanya terjadi bila lebih dari 70-80 persen penduduk indonesia terinfeksi dan punya imunitas yang berhasil hidup," kata Pandu Riono.

Pandu mengatakan, adanya spekulasi terkait herd immunity muncul karena tidak ada edukasi pada masyarakat.

Hal ini membuat masyarakat lebih mudah dihasut dengan isu yang belum tentu benar.

(Sumber: Kompas.com/Penulis: Ihsanuddin, Dian Eka Nugraheny, Jawahir Gustav Rizal | Editor: Diamanty Meiliana, Kristian Erdianto, Virdita Rizky Ratriani)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

HOAKS ATAU FAKTA?

Jika Anda mengetahui ada berita viral yang hoaks atau fakta, silakan klik tombol laporkan hoaks di bawah ini

closeLaporkan Hoaks checkCek Fakta Lain
Berkat konsistensinya, Kompas.com menjadi salah satu dari 49 Lembaga di seluruh dunia yang mendapatkan sertifikasi dari jaringan internasional penguji fakta (IFCN - International Fact-Checking Network). Jika pembaca menemukan Kompas.com melanggar Kode Prinsip IFCN, pembaca dapat menginformasikannya kepada IFCN melalui tombol di bawah ini.
Laporkan
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com