Harian Kompas, 26 Oktober 1974 mewartakan, ORI tampil dalam bentuk uang kertas dan berisi tanda tangan Menteri Keuangan.
Pada bagian mukanya, tercetak kata-kata Jakarta, 17 Oktober 1945. Kemudian pada bagian belakang tercetak kata-kata peringatan terhadap mereka yang mencoba meniru atau memalsukan ORI.
Meski saat itu ORI belum sampai ke seluruh pelosok Indonesia, namun rakyat sangat bangga karena bangsa ini sudah memiliki alat tukar sendiri.
Sebelum resmi diedarkan, ORI dicetak di beberapa tempat. Persiapan pencetakan ORI sebenarnya sudah dimulai pada tanggal 24 Oktober 1945, ketika Menkeu Mr A.A. Maramis menginstruksikan Serikat Buruh Percetakan G Kolf Jakarta, untuk bertindak sebagai pencari data untuk menemukan percetakan uang dengan teknologi relatif modern dan memadai.
Akhirnya dipilihlah percetakan G Kolf Jakarta serta Percetakan Nederlands Indische Metaalwaren en Emballage Fabrieken (NIMEF) di Kendalpayak, Malang, sebagai pabrik pencetak ORI.
Meski begitu, pemberitaan Harian Kompas, 14 Agustus 1970 menyebutkan, pengerjaan pencetakan ORI pada awalnya dilakukan di Surabaya. Tetapi adanya Pertempuran 10 November melenyapkan hasil usaha yangbaru saja dimulai tersebut.
Kemudian pengerjaan ORI dilanjutkan di kota lain, yaitu Jakarta. Para anggota Panitia Dua saat itu bekerja dengan sembunyi-sembunyi. Akhirnya setelah usaha yang dilakukan, para anggota Panitia Dua berhasil menyelesaikan sebagian tugasnya.
Namun pekerjaan yang telah selesai sebagian tersebut harus tertunda akibat suhu politik yang keruh saat itu mengganggu keamanan. Pencetakan uang kemudian berpindah lagi. Kali ini, kota yang menjadi tujuan adalah Yogyakarta.
Pemindahan pekerjaan ini mengakibatkan kertas yang menjadi bahan baku uang juga harus dipindahkan ke Kota Yogyakarta dari pabrik kertas di Padalarang secara sembunyi-sembunyi.
Salah satu tokoh yang berperan dalam mengungsikan bahan baku ini adalah Amat Sumadisastra yang merupakan salah seorang pemimpin pabik kertas Padalarang.
Adapun mesin cetak yang diguanakan di Yogyakarta saat itu menggunakan duabuah stopcylinder Augsburg 65 x 50.
Setelah resmi beredar, ORI mulai menggantikan alat tukar lain yang saat itu masih berlaku di Indonesia. Masyarakat pun juga mulai menukarkan uang mereka dengan ORI.
Adapun dasar penukaran ORI ditentukan berdasarkan darah. Untuk wilayah Jawa dan Madura, maka uang Jepang bernilai f.50 disamakan dengan ORI dengan nilai Rp 1.
Kemudian bagi masyarakat di luar Jawa dan Madura, maka uang jepang f. 100 disamakan dengan ORI Rp 1. Selain itu, ORI bernilai Rp 10 sama dengan emas murni 5 gram.
Saat itu, ORI yang beredar di masyarakat terdiri dari pecahan-pecahan senilai satu sen, sepuluh sen, setengah rupiah, satu rupiah, lima rupiah, sepuluh rupiah, dua puluh lima rupiah, dan seratus rupiah.
Meski ORI resmi beredar dan menjadi alat tukar di Indonesia, namun saat itu beredar pula ORI dengan macam-macam jenisnya. Tidak seperti mata uang Rupiah yang saat hanya memiliki satu jenis, ORI kala itu memiliki beberapa jenis.
Pada saat itu, ORI yang beredar di Jawa berbeda dengan ORIPS yang diedarkan di Sumatera. Pada masa perjuangan 1947-1949, dikenal berbagai mata uang yang dikeluarkan di daerah.
Beberapa daerah memiliki versi ORI sendiri-sendiri yang dikeluarkan di daerah atau OERIDA (Oeang Repoeblik Indonesia Daerah), sepeti uang ORITA di Tapanuli, ORIPSU dan ORIBA di Sumatera Utara dan Aceh, serta berbagai ORI lain yang dicetak di daerah-daerah seluruh Indonesia.