SUDAH 22 hari Internet Shutdown terjadi di Papua dan Papua Barat sejak pertama diterapkan pada 19 Agustus 2019 di dua provinsi di wilayah timur Indonesia.
Apakah Internet Shutdown dibenarkan dalam konteks perlindungan hak-hak digital dan apakah efektif sesuai tujuan yang dimaksud?
Dalam siaran pers terakhir Kemkominfo pada 9 September 2019 pukul 18.00 WIB disampaikan bahwa pemerintah telah membuka 36 wilayah, tetapi masih menutup layanan data internet 6 wilayah di provinsi Papua dan Papua Barat, dengan rincian 4 kabupaten/kota di Provisi Papua yakni Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Mimika, dan Kabupaten Jayawijaya serta 2 kota di Papua Barat yakni Kota Manokwari dan Kota Sorong.
Disebutkan juga, pemerintah akan terus memantau situasi dalam satu atau dua hari ke depan. Di bagian selanjutnya, rilis memuat semacam evaluasi bahwa sebaran informasi hoaks, kabar bohong, ujaran kebencian, hasutan dan provokasi terkait dengan isu Papua terus menunjukkan tren menurun sejak 31 Agustus 2019.
Puncak sebaran hoaks dan hasutan terkait isu Papua terjadi pada 30 Agustus 2019 dengan jumlah URL (Uniform Resource Locator, atau cukup disebut alamat situsweb) mencapai 72.500.
Distribusi hoaks terus menurun, 42 ribu URL pada 31 Agustus 2019, 19 ribu URL pada 1 September 2019, lalu menurun menjadi 6.060 URL hoaks dan hasutan di pada 6 September 2019.
Isi siaran pers di atas tidak dapat dipisahkan dari 6 siaran pers sebelumnya yang menjelaskan dari sisi pemerintah Indonesia bagaimana tindakan Internet Shutdown dilakukan di dua provinsi ini.
Diawali dengan apa yang disebut pemerintah sebagai pelambatan akses internet, secara teknis disebut Bandwith Throttling, yang tak lain adalah Internet Slowdown selama 2 hari sejak 19-20 Agustus hanya terjadi di kota Jayapura, Manokwari dan daerah lainnya.
Namun di hari ketiga, berubah menjadi pemblokiran layanan data di seluruh wilayah Papua dan Papua Barat, atau mobile internet blockade yang kemudian secara bertahap dinyalakan lagi sejak 4 September 2019 meskipun belum seluruhnya.
Dalam catatan SAFEnet/Southeast Asia Freedom of Expression Network, organisasi yang memperjuangkan hak-hak digital di Asia Tenggara, tindakan pemerintah Indonesia ini adalah kali kedua dalam setahun terakhir.
Dalam dua peristiwa yang telah terjadi, tindakan ini digunakan sebagai cara baru pemerintah mengontrol informasi, membatasi akses informasi dan melakukan sensor di internet.
Peristiwa yang pertama, mengacu pada peristiwa pelambatan akses yang terjadi pada 22-25 Mei 2019 di Jakarta terkait aksi protes hasil pemilihan umum 2019.
Pemerintah Indonesia melalui Kemkominfo mengeluarkan empat siaran pers terkait tindakan bandwith throttling/internet slowdown tersebut selama dilakukan.