Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ramai soal Jualan Pakaian Dalam Bekas Pakai di E-commerce, Psikolog Singgung “Fetish”

KOMPAS.com - Sebuah unggahan twit memperlihatkan penjualan pakaian dalam bekas pakai, mulai dari kaus kaki, celana dalam, hingga stocking, ramai diperbincangkan di media sosial Twiter.

Akun Twitter ini membagikan foto lapak jualan pakaian bekas pakai tersebut di situs e-commerce pada Minggu (22/1/2023).

"dunia udah gila," tulis pengunggah.

Pakaian bekas pakai itu seperti kaus kaki hingga stocking yang dijual dalam kondisi belum dicuci dan masih kotor.

Hingga sekarang, unggahan di akun Twitter tersebut telah tayang sebanyak 2,9 juta kali dan mendapatkan 20.500 suka.

Lantas, bagaimana tanggapan psikolog mengenai fenomena ini?

Tanggapan psikolog

Menurut psikolog klinis Vera Ignatia Prawono, fenomena penjualan pakaian dalam bekas yang masih kotor bukan hal baru.

Penjual mau menjual pakaian dalam bekas yang kotor untuk tujuan bisnis.

"Ada yang jual-beli pasti karena ada yang cari," ujarnya, saat dihubungi Kompas.com, Senin (23/1/2023).

Menurutnya, orang yang menjual pakaian dalam bekas dengan kondisi kotor melakukannya demi mendapatkan uang.

Penjual melihat ada peluang di pasaran lalu menjadi perantara kepada pembeli dan akhirnya meraih keuntungan.

Vera tidak menampik kemungkinan ada penjual yang melakukannya untuk mendapatkan kepuasan sendiri.

Namun, kesimpulan itu harus dilakukan dengan analisis lebih lanjut.

Ia mencontohkan, jika penjual menjual pakaian dalam bekas itu dengan melampirkan fotonya, maka bisa jadi ini tindakan eksibionis.

Eksibisionis adalah tindakan memamerkan alat kelaminnya untuk mendapatkan rangsangan seksual.

Tapi, jika penjual tidak melakukannya, berarti dia hanya untuk memenuhi kebutuhan pembeli.

Umumnya untuk "fetish"

Menurut Vera, pembelian pakaian dalam bekas yang kotor umumnya dilakukan dengan tujuan seksualitas berupa fetish.

Fetish adalah kondisi seseorang yang merasakan rangsangan seksual akibat suatu benda atau organ tubuh lain yang bukan alat kelamin.

"Fetish ini ada dua, fetish behavior atau fetish dissorder," ungkapnya.

Vera menjelaskan, orang yang memiliki fetish behavior akan mendapatkan rangsangan saat berhubungan dengan pasangan melalui objek lain atau organ selain alat kelamin.

Kondisi ini, menurutnya, bukan gangguan yang membutuhkan terapi dari psikolog selama belum menganggu pasangan yang melakukannya.

Namun, saat keadaan tersebut berubah mengganggu barulah disebut fetish disorder.

Apa itu "fetish dissorder"?

Menurut Vera, orang yang mengalami fetish dissorder akan merasa terangsang melalui benda atau anggoota tubuh selain alat kelamin.

Dia bahkan bisa jadi tidak bernapsu dengan orang lain, melainkan hanya pada suatu objek atau anggota tubuh saja.

Ia menjelaskan lebih lanjut dua ciri suatu obsesi pada objek seksual dapat dikategorikan fetish dissorder.

Pertama, jika suatu obsesi pada objek seksual terjadi minimal 6 bulan. Kondisi terparah terjadi saat penderita selalu terangsang dengan objek seksualnya.

Ciri lain yaitu jika kondisi ini menganggu kehidupan sehari-hari penderita.

Orang yang memiliki fetish dissorder akan sulit bekerja maupun berperilaku sosial akibat rasa ketagihan yang dimiliki.

Vera menyebut, fetish dissorder bisa bertambah parah dan bahkan berujung pada tindakan kriminal.

Ia mencontohkan penderita yang sampai berani mencuri pakaian dalam dari jemuran orang lain.

Penyebab "fetish dissorder"

Menurutnya, ada dua penyebab seseorang dapat memiliki fetish dissorder.

Alasan pertama karena penderita memiliki gangguan atau kesalahan saraf pada otaknya.

"Kesalahan saraf ini perlu dilihat dari masih dalam kandungan," kata Vera.

Ia menyebut, seseorang dapat mengalami gangguan saraf saat ibunya mengalami masalah dalam kandungan. Untuk itu, perlu ada penelusuran lebih lanjut.

Selain itu, fetish dissorder juga terjadi akibat meniru perilaku orang lain.

"Awalnya anak kecil melihat, coba-coba. Kok enak? Berawal dari tindakan jadi habit," jelasnya.

Vera menyebut, penderita mungkin melihat tindakan itu saat kecil.

Anak-anak yang penuh rasa ingin tahu lalu melakukannya di saat mereka belum memiliki perkembangan diri yang cukup.

Cara diagnosis "fetish dissorder"

Menurut Vera, seseorang baru bisa masuk kategori penderita fetish dissorder saat rangsangan seksual dari objek itu berlangsung minimal 6 bulan dan menganggu kehidupannya.

Ia menyebut, psikolog akan menjalankan assesment atau pemeriksaan lebih lanjut untuk benar-benar mendiagnosis seseorang menderita fetish dissorder.

Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan mewawancarai orang yang diduga memiliki fetish dissorder maupun orang lain di sekitarnya.

Selain itu, ada tes proyektif berupa gambar yang ditujukan untuk mengetahui kondisi gangguan yang mungkin dimiliki orang itu.

Tes di atas dapat dilakukan lebih dari satu cara. Tujuannya untuk memastikan kecocokan hasil tes yang subjek jalani dengan informasi dari orang atau tes lainnya.

Pengobatan "fetish dissorder"

Vera menjelaskan, pengobatan fetish dissorder dapat dilakukan sesuai penyebabnya dan melalui sejumlah cara.

Gangguan yang disebabkan kesalahan pada saraf maka diatasi dengan mengkonsumsi obat dari psikiater. Obat ini akan berfungsi mengendalikan napsu seksual penderita.

Pengobatan lain dilakukan dengan terapi modifikasi perilaku dari psikolog.

"Penderita dicari tahu cara pandangnya pada pakaian dalam kayak gimana," ujar Vera.

Dalam sesi terapi ini, psikolog akan menunjukkan pakaian dalam bekas kepada pasien. Selanjutnya, pasien akan dimintai pendapat mengenai objek itu.

Psikolog akan mendalami alasan seseorang memiliki fetish pada pakaian dalam bekas. Kemudian, psikolog akan memberikan pandangan lain kepada penderita mengenai pakaian dalam.

Cara pengobatan terakhir melalui hipnoterapi. Terapi ini dilakukan dengan cara menghipnotis area alam bawah sadar penderita.

Meski ada banyak cara mengobati fetish dissorder, Vera menegaskan bahwa ini dikembalikan kepada individunya.

"Semua pengobatan baru efektif kalau penderitanya mau," pungkasnya.

https://www.kompas.com/tren/read/2023/01/25/150000665/ramai-soal-jualan-pakaian-dalam-bekas-pakai-di-e-commerce-psikolog-singgung

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke