Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Naskah Ini Tidak Berjudul

Karena coba-coba mempelajari apa yang disebut sebagai logika, maka wajar saya juga wajib mau tak mau mempelajari apa yang disebut sebagai paradoks yang ternyata paling asyik bermain dengan logika.

Akibat gemar bermain dengan logika, maka wajar bahwa dalam mempelajari paradoks saya merasa dipermainkan oleh logika beraroma reductio ad absurdum sehingga saya tidak pernah berhasil memahami makna kebenaran mau pun ketidak-benaran yang terkandung di dalam paradoks yang ditampilkan oleh Zeno pada kisah Achilles tidak pernah berhasil mengalahkan kura-kura dalam lomba lari maraton mau pun sprint seratus meter.

Saya lestari gagal paham sebab terjebak di dalam perangkap logika dangkal saya sendiri bahwa Achilles pasti berhasil mengalahkan kura-kura dalam lomba lari kecuali Achilles keliru berlari ke arah yang berlawanan dengan lokasi garis finish.

Atau Achilles sengaja mengalah demi membenarkan (atau tidak membenarkan?) mashab reductio ad absurdum yang terkandung di dalam paradoks Zeno nan legendaris itu.

Saya juga merasa habis-habisan secara tanpa henti dipermainkan oleh logika saya sendiri ketika menghadapi paradoks sebuah naskah yang saya tulis dengan judul Naskah Ini Tidak Berjudul.

Judul Naskah Ini Tidak Berjudul sukses sebagai sejenis senjata makan tuan dalam bentuk logika makan tuan.

Bagaimana mungkin ada judul Naskah ini tidak berjudul sementara pernyataan bahwa Naskah ini tidak berjudul itu atau ini an sich sudah dengan sendirinya merupakan judul naskah yang dinyatakan tidak berjudul.

Naskah ini tidak berjudul sudah nyata merupakan judul naskah yang dinyatakan tidak berjudul itu merupakan paradoks terhadap kenyataan bahwa judul naskah ini adalah Naskah ini tidak berjudul meski atau justru karena secara reductio ad absurdum adalah absurd untuk menyatakan Naskah ini tidak berjudul akibat pada kenyataan pernyataan itu sendiri sudah menegaskan bahwa judul naskah ini adalah Naskah ini tidak berjudul.

Kemudian kita bisa lanjut bermain atau mempermainkan atau dipermainkan logika kita sendiri sampai akhir jaman di mana manusia sudah tidak perlu sebab tidak bisa berpikir lagi.

Apalagi asyik bermain dengan logika atau sebaliknya: logika asyik bermain dengan otak manusia.

Metode logika reductio ad absurdum digemari para pemikir mulai dari Gottried Wilhelm Leibniz, Karl Marx, Bertrand Russel, Alfred North Whitehead sampai Ludwig Wittgenstein mau pun Kurt Goedel di samping merupakan unsur dasar Rene Magritte di khasanah seni rupa serta Miguel de Cervantes di wilayah seni sastra.

Cara berpikir Punakawan di dalam Wayang Purwa pada prinsipnya juga menganut mashab reductio ad absurdum.

Meski terkesan rumit sambil agak-agak terkesan mubazir namun pada hakikatnya sebuah hikmah tetap dapat dipetik dari permainan logika yang terkandung di dalam paradoks Naskah ini tidak berjudul, yaitu hikmah kesadaran ojo dumeh (jangan terkebur) bagi diri saya sendiri.

Jangankan memahami alam semesta, sementara pikiran dangkal saya sendiri tidak mampu memahami pemikiran diri saya sendiri.

Otak manusia memang sudah dapat memahami seluruh organ tubuh manusia kecuali sang otak itu sendiri.

Maka manusia terutama saya sendiri memang harus senantiasa niscaya ojo dumeh agar senantiasa niscaya sadar diri bahwa saya memiliki daya pikir sangat terbatas maka dengan sendirinya juga daya logika yang sangat terbatas pula sehingga mustahil memahami makna segala sesuatu yang terkandung di dalam kehidupan di planet bumi apalagi alam semesta yang sedemikian luas tanpa kenal batasan maksimal mau pun minimalnya makrokosmos dan mikrokosmos selaras kearifan adi luhur sangkan paraning dumadi serta manunggaling kawula gusti yang antara lain terkandung di dalam kisah Dewa Ruci.

https://www.kompas.com/tren/read/2022/08/06/060641665/naskah-ini-tidak-berjudul

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke