Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kritiklah Daku Kau Ku-buzzer

“MUSUH terbesar dunia pers saat ini, khususnya pers online melalui jalur media sosial, ialah para buzzer yang nirtanggungjawab kebangsaan yang cerdas dan berkeadaban mulia," cuit Haedar Nashir melalui akun twitter @HaedarNs.

Cuit kerisauan ketua Muhammadiyah bertepatan dengan Hari Pers Nasional 9 Pebruari 2021 memang memiliki relevansi tinggi. Hari-hari ini jagad pembicaraan menyoal tentang pendengung (buzzer) riuh, seriuh cuitan di berbagai kanal media sosial.

Ramai membahana perdebatan menyoal pendengung selaras dengan permintaan dari Presiden Jokowi agar masyarakat lebih aktif menyampaikan kritik terhadap kinerja pemerintah.

Permintaan Jokowi tersebut dua kali terjadi. Pada saat peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2020 (8/2/2021) dan berlanjut pada peringatan Hari Pers Nasional (9/2/2021).

Soal kritik terhadap kinerja pemerintah, Kwik Kian Gie menambah ramai percakapan tentang pendengung.

“Saya belum pernah setakut saat ini mengemukakan pendapat yang berbeda dengan maksud baik memberikan alternatif. Langsung saja di-buzzer habis-habisan, masalah pribadi diodal-adil."

Kwik kemudian membandingkan ketika zaman Orde Baru ia justru leluasa menjadi pengkritik melalui kolomnya di Kompas. Cuitan Kwik Kian Gie berbalas dengan berbagai tanggapan, baik pro maupun kontra.

Melodrama media sosial

Kehadiran media sosial memang mengubah total perilaku masyarakat, sekaligus mendisrupsi media massa. Media sosial memiliki dua kaki yang sangat kokoh.

Kaki pertama, memberi ruang seluas-luasnya sekaligus sebebas-bebasnya bagi khalayak untuk membuat dan menyebarkan konten-konten informasi. Pun informasi sudah beraneka-rupa, baik berbentuk tulisan, video hingga berbagai infografik yang interaktif sekaligus menarik.

Kaki kedua, media sosial memiliki nilai ekonomi sangat tinggi bagi pemiliknya. Aneka platform yang bisa diakses seluas-luasnya maupun sebebas-bebasnya, ternyata sekaligus memberi ruang seluas-luasnya untuk beriklan.

Dengan kecerdasan buatan yang semakin cerdas dan algoritma yang presisi, beramai-ramai pengiklan memindahkan kanal iklannya ke media sosial. Di Indonesia, media sosial memakan kue iklan antara 70-80 persen dari yang selama ini dinikmati media konvensional.

Kaki pertama ini yang menjadikan pendengung memiliki ruang sekaligus media untuk mendengungkan apa saja. Benar atau salah, berbasis data atau khayalan, terpuji atau tercela, berbaur menjadi satu.

Celakanya media arus utama yang pada dasarnya tetap berpedoman pada kaidah-kaidah jurnalistik yang etis dan presisi, semakin tergerus perannya. Masyarakat meninggalkan media arus utama, berpindah pada media sosial.

Berlimpah-ruah informasi menjadi bermanfaat apabila masyarakat memiliki sikap berpikir kritis. Ada dua pilar utama dari berpikir kritis.

Pertama, kejelasan dan ketepatan. Artinya informasi berlimpah-ruah harus dipilah dan dipilih berdasar pada kejelasan sumber dan ketepatan argumen.

Kedua, logis dan relevan. Logis terhubung dengan akal sehat dan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan. Relevan artinya kesesuaian informasi dengan kondisi saat ini. Banyak terjadi berita, foto atau video kejadian masa lalu dijadikan sumber informasi untuk menjelaskan kejadian saat ini.

Berpikir kritis yang seharusnya menjadi garda depan untuk menghadang mega inflasi informasi, ternyata justru melemah. Banyak masyarakat justru membangun tembok-tembok penggalang berpikir kritis.

Dua paling menonjol adalah egosentrisme dan pikiran terseleksi. Egosentrisme ini berbasis pada SARA. Kebinekaan berusaha diubah menjadi keikaan. Egosentrisme ini melahirkan pikiran terseleksi.

Artinya masyarakat mencari sumber berita bukan untuk mencari kebenaran, namun untuk menemukan pembenaran.

Sebagai contoh, pada pemilu presiden dengan dua calon. Jika seseorang mendukung calon presiden A, ia akan mencari sumber berita yang berisi puja-puji tentang presiden A.

Pada sisi lain dia akan mengkoret-koret berita tentang keburukan presiden B. Sumber berita yang dicari dari mana saja. Tidak peduli berita itu hoaks dan tipu muslihat.

Dalam konteks ini pendengung mendapat lahan nan subur. Pendengung semacam nabi baru di jagad maya.

Cuitannya menjadi sabda yang mendengung kemana-mana karena diamplifikasi oleh pengikutnya yang memang mencari sumber berita untuk dijadikan pembenaran.

Mengkritik pemerintah

Pada sepenggal massa yang lumayan panjang, Indonesia mengalami kejadian seperti ini ketika terjadi rivalitas antara Joko Widodo dan Prabowo. Pada dua kubu, muncul para pendengung yang memiliki daya tahan tinggi untuk terus memproduksi dengungan.

Pendengung tumbuh subur karena lahan persemaiannya adalah masyarakat yang terbelah dalam dua kubu yang militan. Berpikir kritis menguap, berganti menjadi egosentrisme dan pikiran terseleksi.

Kabar baik terjadi ketika Prabowo bergabung pada pemerintahan Jokowi. Ditambah menyusulnya Sandiaga Uno menjadi menteri. Dunia pendengung relatif berkurang jauh.

Khalayak sejenak rehat dari perang antar pendengung. Sampai akhirnya Jokowi melontarkan harapan agar masyarakat lebih aktif menyampaikan kritik terhadap kinerja pemerintah.

Yang terjadi kemudian seperti dialami Kwik Kian Gie. Bermaksud memberi kritikan justru yang didapat umpan balik berupa caci-maki pendengung. Mengapa bisa terjadi?

Kompas TV menayangkan acara bertajuk Influencer dan Pemerintahan Jokowi pada 4 September 2020. Salah satu narasumbernya Yose Rizal, pendiri Mediawave.

Rizal menayangkan data tentang trend perbandingan jumlah tagar dukungan vs serangan terhadap Presiden Jokowi. Data diambil dari 1 Januari 2018 hingga 31 Mei 2020. Hasilnya, tersua 3,35 juta tagar dukungan kepada Jokowi.

Sementara tagar serangan terhadap Jokowi nyaris tiga kali lipat lebih banyak, 9,22 juta tagar. Data ini menjelaskan bahwa Jokowi -meminjam kalimatnya Kwik Kian Gie- diodal adil semua aspek kehidupannya. Dalam tingkat yang masif. Termasuk juga serangan terhadap orang tua Jokowi.

Tentu bagi pendukung Jokowi - terutama pendukung militan - masih terekam dengan jelas serangan masif tersebut. Mereka akan membela habis-habisan Jokowi bila ada yang mengkritiknya.

Terlebih apabila kritikan tersebut tidak memiliki dasar dan dilontarkan oleh kubu lawan yang belum berdamai dengan Jokowi. Para pembela militan ini tidak melulu pendengung. Juga masyarakat luas yang kemarin menjadi relewan pembela Jokowi dari berbagai serangan masif.

Perang tagar, perkelahian pendengung dan kontra antar dua pendukung jejaknya masih kentara karena kejadiannya belum lama. Alhasil mengharap ada pihak untuk mengkritik pemerintah, agaknya belum menemukan momentum tepat.

Kecuali jika Anda memberikan kritik dan siap untuk diodal-adil kehidupan pribadi Anda. Namun tetap ada celah, manakala kritikan tersebut berbasis pada pikiran kritis, didukung data yang relevan, logis dalam argumen dan syukur ditambahi dengan jalan keluar.

Berbeda jika Anda pendengung dan terus mengkritik, ya itu memang profesi Anda.

https://www.kompas.com/tren/read/2021/02/20/075330065/kritiklah-daku-kau-ku-buzzer

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke