KOMPAS.com - Beberapa pemerintah daerah mulai mengesahkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Tahun 2020.
Pengesahan yang dilakukan telah melewati serangkaian proses yang tidak sederhana dan seringkali disertai dengan berbagai polemik.
Bahkan, hingga disahkan, tidak jarang RAPBD pun masih mengundang pro kontra. Salah satu hal yang dapat menimbulkan pro kontra ini adalah dengan terjadinya defisit.
Defisit APBD bukan pertama kali terjadi. Di tahun-tahun sebelumnya, kasus defisit APBD juga pernah terjadi di beberapa wilayah. Defisit terjadi apabila jumlah pendapatan lebih kecil daripada jumlah belanja.
Kasus Defisit Anggaran Daerah
Tangerang adalah salah satu wilayah yang telah mengesahkan RAPBD 2020.
RAPBD disahkan di rapat paripurna DPRD Kota Tangerang, Rabu (27/11/2019). Dalam RAPBD tersebut, terdapat anggaran defisit yang cukup besar sejumlah Rp 581.654.059.421.
Mengutip dari Kompas.com (27/11/2019), defisit tersebut terhitung dari pendapatan daerah Pemkot Tangerang yang ditetapkan pada tahun 2020 sebesar Rp 4.580.374.100.610 dengan rincian pendapatan asli daerah senilai Rp 2.377.890.325.336.
Sementara, pemasukan dari dana perimbangan adalah sebesar Rp 1.363.851.764.000 ditambah lain-lain pendapatan daerah yang sah sebesar Rp 838.632.011.274.
Sedangkan belanja daerah Pemkot Tangerang 2020 ditetapkan sebesar Rp 5.162.028.160.091 dengan rincian Belanja Tidak Langsung sebesar Rp 1.651.636.454.069 dan Belanja Langsung sebesar Rp 3.510.391.706.022.
Kasus ini bukan yang kali pertama terjadi. Pun di tahun 2020, ada daerah-daerah yang diprediksi juga akan mengalami defisit seperti DKI Jakarta.
Sebelumnya, melansir dari Kompas.com (18/09/2019), Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menemukan adanya inefisiensi belanja daerah dalam 75 persen APBD.
Inefisiensi tersebut berupa besarnya porsi belanja pegawai sebesar 36 persen, belanja anggaran yang sifatnya bukan investasi sebesar 13,4 persen, dan belanja jasa kantor sebesar Rp 17,5 persen.
Tidak hanya itu, 398 Pemerintah Daerah (Pemda) telah memberikan tunjangan tambahan kepada ASN daerah.
Batas Maksimal Defisit Anggaran Daerah
Untuk memperketat aturan tentang defisit anggaran daerah yang kerap terjadi, Menkeu pun telah menandatangani Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 125/PMK.07/2019 tentang Batas Maksimal Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Batas Maksimal Defisit APBS, dan Batas Maksimal Kumulatif Pinjaman Daerah Tahun Anggaran 2020.
Adapun batas maksimal defisit APBD tahun anggaran 2020 masing-masing daerah berdasarkan PMK ini, ditetapkan kategori Kapasitas Fiskal Daerah sebagai berikut:
Sementara, apabila defisit APBD lebih besar dari batas maksimal defisit APBD yang ditetapkan, harus memperoleh persteujuan terlebih dahulu dari Menkeu c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan. Ketentuan ini disebutkan dalam Pasal 9 PMK yang berbunyi:
“Persetujuan atau penolakan atas Batas Maksimal Defisit APBD menjadi pertimbangan dalam proses evaluasi Rancangan Peraturan Daerah mengenai APBD oleh Menteri Dalam Negeri/Gubernur”
Selain itu, ditegaskan pula bahwa Menkeu c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan pemantauan terhadap Pemda yang menganggarkan penerimaan pinjaman daerah untuk membiayai defisit APBD dan/atau untuk membiayai pengeluaran pembiayaan.
(Sumber: Kompas.com/Singgih Wiryono, Fika Nurul Ulya |Editor: Ambaranie Nadia Kemala Movanita, Sakina Rakhma Diah Setiawan)
https://www.kompas.com/tren/read/2019/11/27/170000565/defisit-rapbd-kerap-terjadi-berapa-batas-maksimalnya-