KOMPAS.com - Watangan matah merupakan salah satu prosesi sakral dalam pertunjukan Calonarang di Bali.
Tradisi watangan matah melibatkan seseorang untuk menjadi watang atau "relawan" peran mati suri, yang menggambarkan korban dari ilmu leak.
Tradisi watangan matah mempunyai risiko, karena melibatkan proses pelepasan roh yang akan membuat orang atau watangan mati suri.
Meski tradisi ini berisiko, watangan sudah menjadi bagian yang tidak terlepaskan dari pertunjukan Calonarang di Bali.
Baca juga: Ngaben, Upacara Pembakaran Jenazah Umat Hindu di Bali
Calonarang merupakan salah satu pertunjukan di Bali yang menampilkan perhelatan antara unsur dharma (kebenaran) dan adharma (kejahatan).
Pementasannya terdiri atas beberapa prosesi, salah satunya watangan matah.
Pada zaman dulu, watangan matah tidak selalu ada dalam pertunjukan Calonarang.
Seiring waktu, watangan matah melekat erat dengan pertunjukan Calonarang di Bali.
Melansir situs resmi MURI, pertunjukan Calonarang adalah salah satu kesenian Bali yang termasuk dalam kategori ritual sakral, yang tidak setiap saat digelar dan hanya dipentaskan pada saat dan di tempat khusus.
Pertunjukan Calonarang berangkat dari cerita Calonarang yang sangat digemari masyarakat Bali.
Konon, Calonarang adalah seorang janda penguasa ilmu hitam yang hidup pada zaman Kerajaan Kahuripan, atau sekitar abad ke-11.
Dengan kekuatannya, ia sering merusak hasil panen petani dan menyebarkan penyakit kepada masyarakat hingga menyebabkan banyak orang meninggal.
Baca juga: Sejarah Seni Calonarang
Calonarang mempunyai seorang putri cantik bernama Dyah Ayu Ratna Manggali, tetapi hingga usianya beranjak dewasa, para pria tidak ada yang berani melamar karena takut dengan ibunya.
Calonarang kemudiaan membalas dendam dengan menculik seorang gadis muda untuk dikorbankan kepada Dewi Durga.
Sebenarnya ada banyak versi cerita Calonarang. Versi lain menceritakan bahwa Calonarang adalah seorang perempuan yang membalas dendam setelah dibuang suaminya karena dituduh melakukan kejahatan, yakni memakai ilmu hitam.