Namun, dibunuhnya D.N. Aidit belum mengakhiri penumpasan besar-besaran terhadap PKI di Indonesia.
Sejak Oktober 1965 hingga Maret 1966, sekitar 200.000 hingga jutaan orang yang dituding sebagai anggota dan simpatisan PKI dibantai tanpa peradilan.
Baca juga: Gerakan Operasi Militer I, Operasi untuk Menumpas PKI Madiun 1948
Pada 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Surat ini memberikan kewenangan kepada Soeharto untuk mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu untuk menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban nasional, termasuk gelombang operasi penumpasan PKI.
Pada 12 Maret 1996, selaku pemegang Supersemar, Soeharto membubarkan PKI dan menyatakannya sebagai partai politik terlarang.
Organisasi massa yang dituduh berafiliasi dengan PKI juga ikut dibubarkan, seperti BTI, Gerwani, Pemuda Rakjat, IIPi, SOBSI, Baperki, Perbepsi, dan JSI.
Pemerintah Indonesia melalui MPRS juga mengambil tindakan tegas untuk membubarkan PKI dan melarang segala bentuk kegiatan yang terkait dengan paham komunisme/marxisme-leninisme.
Dasar hukum pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) tercantum dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (TAP MPRS) Nomor 25/MPRS/1966 Tahun 1966.
TAP MPRS ini memiliki dua pokok utama, yaitu pembubaran PKI dan penetapan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Indonesia.
Larangan terhadap kegiatan yang berkaitan dengan penyebaran atau pengembangan paham Komunisme/Marxisme-Leninisme diatur secara tegas dalam isi TAP MPRS No. 25/1966.
Menurut Pasal 2, segala bentuk kegiatan yang bertujuan menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, termasuk penggunaan aparatur dan media untuk tujuan tersebut, dilarang dengan tegas.
Pasal 3 kemudian mengatur bahwa kegiatan mempelajari paham tersebut secara ilmiah, terutama di lingkungan universitas, dapat dilakukan secara terpimpin.
Namun, aturan ini harus dilakukan dengan ketentuan bahwa pemerintah dan DPR-GR diwajibkan untuk membuat perundang-undangan yang dapat mengamankan Pancasila.
Penting untuk dicatat bahwa dalam Pasal 4, TAP MPRS No. 25/1966, ditegaskan bahwa ketentuan-ketentuan tersebut tidak mempengaruhi landasan dan sifat bebas aktif dalam dunia politik luar negeri Republik Indonesia.
Referensi: