KOMPAS.com - Kota Yogyakarta mulai menyadang status otonom sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 17 Tahun 1947.
Sebelumnya, kota ini berbentuk kesultanan dengan raja sebagai pemegang tertinggi kekuasaan.
Bermula dari Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1775, dua Kerajaan Mataram dibagi menjadi hak milik Kasunanan Surakarta dan Pangeran Mangkubumi.
Setelah perjanjian tersebut, Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I memberi nama daerah barunya sebagai Ngayogyakarta Hadiningrat.
Baca juga: Sejarah Berdirinya Daerah Istimewa Yogyakarta
Pada masa Hindia Belanda, Kota Yogyakarta merupakan daerah Zelfbesturende Landschappen atau daerah yang berhak memerintah daerahnya sendiri.
Hal ini membuat Yogyakarta tidak bisa disamakan dengan daerah jajahan yang dijalankan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Pada zaman Hindia Belanda, kedudukan maupun wewenang kerajaan tidak diatur dalam undang-undang.
Melainkan ditentukan dalam kontrak-kontrak politik yang akan diperbarui setiap pergantian pemimpin (raja).
Kontrak-kontrak tersebut berisi pengakuan Pemerintah Belanda terhadap kerajaan-kerajaan yang ada. Kontrak politik tersebut diatur dalam Staatsblad 1941 No. 47.
Baca juga: Sejarah Keraton Yogyakarta
Kontrak politik yang diberikan oleh Pemerintah Belanda dinamakan Lange Contract ditandatangani oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda dengan Sri Sultan.
Dalam kontrak tersebut, Pemerintah Hindia Belanda memberikan kebebasan kepada kerajaan-kerajaan ini untuk mengatur daerahnya atau urusan rumah tangga sendiri sebagai daerah otonom.
Namun, kotrak tersebut juga memberikan keuntungan kepada Pemerintah Hindia Belanda. Hal ini dikarenakan mereka bisa ikut campur tangan dalam pemerintahan Kesultanan Yogyakarta.
Bentuk Pemerintahan Kota Yogyakarta berupa kesultanan menjadikan kota ini memiliki tatanan kota tersendiri.
Hal ini dapat dilihat dari pusat pemerintahan yang berada di istana dikelilingi oleh benteng berparit yang dinamakan Jeron Benteng.
Diidalamnya berisi
Terdapat pula pasar sebagai tempat perdagangan serta kampung-kampung tempat tinggal pagawai istana.
Di luar benteng keraton, tumbuh perkampungan orang Tionghoa, Arab dan Eropa.
Baca juga: Mengapa Yogyakarta Disebut sebagai Daerah Istimewa?
Referensi: