KOMPAS.com - Daerah Istimewa Yogyakarta atau yang biasa disingkat sebagai DIY telah menempati posisi istimewa di Indonesia sebagai sebuah daerah otonom setingkat provinsi.
Sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, DIY tak hanya menjadi saksi perubahan nasional, tetapi juga merangkul peran penting dalam menghidupkan kebudayaan dan keindahan alamnya.
Dengan ibu kota di Yogyakarta, provinsi ini memiliki sejarahnya sendiri yang tak terlupakan.
Bagaimana sejarah kota Yogyakarta yang dijadikan salah satu simbol wilayah keistimewaan di Indonesia?
Baca juga: Mayoritas Masyarakat Pilih Liburan di Dalam Negeri, Bali dan Yogyakarta Favorit
Pada 13 Februari 1755, Kota Yogyakarta didirikan berdasarkan hasil dari Perjanjian Gianti yang ditandatangani oleh Kompeni Belanda di bawah pimpinan Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mossel.
Isi perjanjian tersebut mengatur pembagian Negara Mataram menjadi dua bagian, di mana separuhnya menjadi hak Kerajaan Surakarta dan separuh lagi menjadi hak Pangeran Mangkubumi.
Dalam perjanjian ini, Pangeran Mangkubumi diakui sebagai raja atas setengah wilayah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah.
Wilayah kekuasaannya meliputi Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede, dan beberapa daerah mancanegara, seperti Madiun, Magetan, Cirebon, Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro, Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, dan Grobogan.
Setelah pembagian daerah selesai, Sultan Hamengku Buwono I menetapkan bahwa wilayah Mataram di bawah kekuasaannya diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat, dengan ibu kota di Ngayogyakarta (Yogyakarta). Keputusan ini diumumkan pada 13 Maret 1755.
Pada saat penentuan ibu kota dan pusat pemerintahan, Sultan Hamengku Buwono I memilih Hutan Beringin yang terletak di dekat desa kecil bernama Pachetokan.
Di area tersebut, terdapat pesanggrahan bernama Garjitowati, yang sebelumnya dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II dan kemudian diubah namanya menjadi Ayodya.
Lalu, Sultan Hamengku Buwono I segera memerintahkan rakyat untuk membuka hutan tersebut guna mendirikan Kraton.
Sebelum Kraton Yogyakarta selesai dibangun, Sultan Hamengku Buwono I memilih untuk menempati pesanggrahan Ambarketawang di daerah Gamping yang pada saat itu sedang dalam proses pembangunan.
Pada 9 Oktober 1755, secara resmi Sultan menetap di pesanggrahan tersebut.
Dari lokasi ini, ia terus mengawasi dan mengoordinasikan proses pembangunan kraton yang sedang berlangsung.