KOMPAS.com - Kebiasaan meminum minuman keras sudah lama dilakukan masyarakat Nusantara. Dalam sejarah, minuman seperti tuak sudah dikonsumsi, bahkan saat bangsa Eropa belum masuk.
Salah satu bukti dapat dibaca pada kakawin Desawarnana. Mpu Prapanca menjelaskan tamu-tamu Kerajaan Majapahit adalah peminum berat dan pecandu alkohol.
Minuman keras seperti tuak, bir, dan arak biasanya dikonsumsi oleh kalangan atas. Biasanya, minuman ini tersedia di tempat-tempat perkumpulan atau perjamuan.
Setelah bangsa Eropa mulai masuk ke Nusantara, kebiasaan meminum minuman keras semakin hari diikuti oleh pribumi kelas bawah.
Baca juga: Muasal Behel, Kini Berkembang seperti Gaya Hidup
Kemunculan pabrik-pabrik bir dan arak sekitar tahun 1930-an menandakan kebutuhan minuman keras semakin masif.
Bir, arak dan miras tidak hanya tersaji di perkumpulan dan perjamuan elit, melainkan juga diperdagangkan di tempat makan dan rumah bordil.
Beberapa juga dijualbelikan di hotel berstandar Eropa. Bahkan, minuman keras yang masuk ke Hindia Belanda juga didatangkan dari Eropa.
Karena mengalami peningkatan, minuman keras akhirnya dikenai cukai atau pajak oleh pemerintah Hindia Belanda.
Dalam Staatsblad 1916 Nomor 186, pengusaha minuman keras dikenai pajak sebesar 45 gulden untuk minuman dengan penyulingan 3/4 dari 1,5 liter.
Pengenaan cukai bertujuan untuk meraup keuntungan serta menertibkan peredaran minuman keras di pasaran.
Pendirian pabrik-pabrik bir dan arak serta pengenaan cukai terhadap minuman tersebut, secara tidak langsung mendukung perkembangan ekonomi di beberapa kota Hindia Belanda.
Baca juga: Menilik Kawasan Elite di Hindia Belanda pada Masa Kolonial