Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tradisi Labuhan Merapi, Upacara Adat Sejak Era Kerajaan Mataram Islam

Kompas.com - 23/02/2023, 12:00 WIB
Verelladevanka Adryamarthanino ,
Tri Indriawati

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu provinsi di Indonesia yang terkenal memiliki berbagai macam tradisi kebudayaan.

Salah satunya adalah Tradisi Labuhan Merapi, yaitu tradisi rutin yang diadakan setiap tahun oleh Keraton Yogyakarta.

Makna dari tradisi Labuhan Merapi adalah ucapan terima kasih kepada sang pencipta, kepada alam, dan kepada para penunggu sekaligus penjaga Gunung Merapi.

Tahun ini, tradisi Labuhan Merapi dirayakan pada Selasa (21/2/2023).

Baca juga: Tradisi Bedah Bumi, Salam untuk Menyemayamkan Jenazah

Sejarah

Agar terhindar dari bencana alam

Ada beberapa macam versi yang membahas tentang sejarah Tradisi Labuhan Merapi.

Versi pertama menjelaskan bahwa sejarah Labuhan Merapi bermula dari ketika Panembahan Senopati sedang bertapa di Pantai Parangkusumo.

Di tengah pertapaan, Panembahan Senopati didatangi oleh seorang putri, yang konon adalah Ratu Laut Selatan.

Sang ratu kemudian bertanya apa tujuan Panembahan Senopati bertapa di pantai tersebut.

Panembahan Senopati kemudian menjelaskan bahwa ia bertapa karena sedang terjadi masalah di dalam Keraton, yakni pertempuran antara Kerajaan Mataram dengan Kerajaan Pajang yang mengakibatkan keadaan di dalam keraton menjadi tidak kondusif dan aman.

Lalu, Ratu Laut Selatan mengatakan bahwa apa yang diinginkan Panembahan Senopati bisa terkabulkan asalkan sang ratu menjadi istrinya.

Panembahan Senopati menyanggupi persyaratan itu dengan syarat sang ratu akan selalu melindungi dirinya.

Setelah keduanya menikah, Ratu Laut Selatan menyuruh Panembahan Senopati kembali pulang dan ia diberi kenang-kenangan sebuah telur jagat.

Panembahan Senopati diminta untuk memberikan telur tersebut kepada juru taman, dikarenakan berbahaya jika dimakan oleh Panembahan Senopati.

Akhirnya, telur itu pun dimakan oleh sang juru taman. Sesaat setelah melahapnya, tubuh sang juru taman tiba-tiba berubah menjadi besar.

Dengan tubuh besarnya itu, sang juru taman pun ditugaskan untuk menjaga Gunung Merapi agar masyarakat Yogyakarta terhindar dari bencana gunung meletus.

Setiap tahunnya, si juru taman juga akan dikirim barang-barang dan makanan yang ia sukai.

Baca juga: Biografi Sri Sultan Hamengkubuwono V

Untuk keselamatan Sri Sultan HB dan keturunannya

Versi kedua menjelaskan bahwa awal mula tradisi Labuhan Merapi terjadi masih berkaitan dengan upacara Panembahan Senopati yang tengah mencari dukungan moral guna memperkuat kedudukannya di Kerajaan Mataram.

Dukungan yang ia harapkan adalah bantuan dari makhluk halus penguasa laut selatan.

Setelah itu, disepakati sebuah perjanjian bahwa Ratu Laut Selatan bersedia membantu kesultanan Panembahan Senopati beserta anak dan keturunan-keturunannya.

Sebagai imbalan, Panembahan Senopati dan keturunannya wajib memberikan persembahan kepada para penunggu Gunung Merapi dalam bentuk upacara labuhan.

Dengan demikian, tradisi Labuhan Merapi sudah dirayakan sejak zaman Kerajaan Mataram Islam, sekitar tahun 1755.

Dari kisah ini disimpulkan tujuan tradisi Labuhan Merapi adalah untuk menjaga keselamatan Sri Sultan HB secara turun-temurun, Keraton Yogyakarta, dan masyarakat Yogyakarta.

Baca juga: Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta: Sejarah dan Karakteristiknya

Prosesi tradisi

Dua hari sebelum tradisi Labuhan Merapi dilakukan, dipersiapkan terlebih dulu segala perlengkapan yang dibutuhkan, mulai dari pakaian hingga berbagai alat.

Setelah itu, perlengkapan-perlengkapan ini akan dibawa menggunakan tiga mobil ke tiga tempat berbeda, yaitu Pantai Parangkusumo, Gunung Merapi, dan Gunung Lawu.

Sehari sebelum tradisi Labuhan Merapi, seserahan yang biasa disebut uborampe sudah diletakkan di bangsal pengantin.

Bangsal Pengantin adalah sebuah tempat untuk pertunjukan wayang kulit yang berada di Prajimas Barat Keraton Yogyakarta.

Setelah itu, uborampe akan dijaga oleh beberapa abdi dalem Keraton Yogyakarta. Abdi dalem yang ditugaskan juga tidak sembarangan.

Dalam pemilihan abdi dalem harus melalui proses ritual yang dilaksanakan oleh Sri Sultan, yakni meminta petunjuk kepada Allah SWT dan bertanya abdi dalem mana yang cocok untuk menjaga uborampe tersebut.

Abdi dalem yang terpilih pun harus bersedia tidak tidur satu hari satu malam demi menjaga uborampe.

Lalu, pada hari peringatan tradisi Labuhan Merapi, uborampe yang sudah disimpan itu akan diberangkatkan dari Joglo Harjo Merapi ke Kekendit Merapi.

Sesampainya di sana, yaitu di Bangsal Pengantin, juru kunci akan membakar kemenyan sembari membaca doa-doa.

Inti dari doa tersebut adalah pengakuan terhadap kebesaran dan keberkahan dari para orang suci serta keagungan Allah.

Selesai doa, perlengkapan labuhan yang berupa makanan akan dibagikan kepada orang-orang yang hadir.

Selama prosesi Labuhan Merapi berlangsung, ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu perlengkapan dan pantangannya.

Baca juga: Keraton, Peninggalan Sejarah Islam di Indonesia

Perlengkapan

Perlengkapan yang dibutuhkan dalam Tradisi Labuhan Merapi adalah:

  • Bunga Sritaman: untuk meletakkan benda labuhan
  • Uang tindih sebesar Rp 100
  • Peri kayu sebanyak 1 buah: membawa benda labuhan dari Keraton ke lokasi labuhan
  • Payung kuning: memayungi penjenengan pada waktu benda labuhan dibawa dari Widyabudaya ke Bangsan Manis, ke Prabayeksa, ke Banga Kencana, ke Sri Mantani, dan kembali ke Widyabudaya.
  • Tikar: untuk duduk para abdi dalem
  • Kain penutup warna putih: menutupi ancak-ancak berisi benda labuhan
  • Mobil: untuk mengangkut benda labuhan ke lokasi upacara

Pantangan

Sementara itu, pantangan dalam Tradisi Labuhan Merapi adalah:

  • Para pelaksana upacara harus dalam kondisi bersih lahir dan batin
  • Perlengkapan upacara dilarang dilangkahi
  • Semua makanan yang dimasak untuk sesaji, tidak untuk jamuan dan tidak boleh dicicipi
  • Dilarang melakukan pekerjaan tanpa prosedur atau tata cara yang benar
  • Sinjang cangkring tidak boleh dibuat oleh perempuan yang sedang menstruasi
  • Daun pisang yang dibentuk sebagai perwujudan manusia harus utuh
  • Para petugas upacara dilarang mengeluh

 

Referensi:

  • Nurkhayati, Rosyidah dan Triwahana. (2021). Memaknai Tradisi Upacara Labuhan Gunung Merapi dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Kinahrejo Cangkringan Sleman. Historical Studies Journal. Vol. 03, No 2, 2021.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com