Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hukum Tawan Karang: Pengertian, Pelaksanaan, dan Penghapusan

Kompas.com - 09/11/2021, 13:00 WIB
Widya Lestari Ningsih,
Nibras Nada Nailufar

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Hukum Tawan Karang adalah hukum tradisional yang dimiliki oleh kerajaan-kerajaan di Bali.

Hukum ini memberi hak kepada para penguasa kerajaan Bali untuk menawan dan menguasai seluruh isi kapal asing yang terdampar di perairannya,

Pada masa penjajahan, hukum ini menjadi hambatan dalam hubungan antara raja-raja Bali dengan pemerintah Hindia Belanda.

Oleh karena itu, Hukum Tawan Karang tidak disukai Belanda, yang kerap menjadi korbannya.

Asal-usul dan ketentuan Hukum Tawan Karang

Hukum Tawan Karang telah menjadi bagian dari adat Bali dan Lombok di bidang maritim selama berabad-abad.

Hukum ini memberi hak kepada penduduk yang tinggal di tepi pantai untuk memiliki kapal yang kandas beserta segala muatannya. Sementara penumpang-penumpangnya dapat diperbudak atau dibunuh.

Untuk menghindari permasalahan, raja-raja di Bali dan Lombok menetapkan peraturan mengenai Hukum Tawan Karang.

Dalam peraturan yang disepakati, disebutkan bahwa raja tempat kapal terdampar harus memberi tahu raja dari tempat asal perahu.

Raja dari asal perahu akan diberi tenggang waktu selama 25 hari untuk membayar uang tebusan dalam jumlah tertentu.

Apabila tebusan tidak dibayar tepat waktu, maka penumpang beserta separuh muatan perahu dapat dirampas dan diberikan kepada raja pemilik pantai. Sedangkan separuh muatan sisanya menjadi hak milik penduduk pantai bersangkutan.

Ketentuan-ketentuan tersebut berlaku bagi raja yang terlibat dalam perjanjian Hukum Tawan Karang.

Bagi pihak di luar perjanjian, maka tidak mendapatkan keringanan seperti yang tertuang pada ketentuan-ketentuan itu.

Baca juga: Kerajaan Bali: Berdirinya, Raja-raja, Kehidupan Sosial, dan Peninggalan

Pelaksanaan Hukum Tawan Karang

Pada abad ke-18, beberapa kerajaan di Bali telah menjalin hubungan dengan pemerintah Hindia Belanda. Namun, hubungan ini terhambat oleh adanya Hukum Tawan Karang.

Sebagai contoh pelaksanaan Hukum Tawan Karang adalah ketika Van den Broeke memimpin rombongan yang dikirim oleh Belanda pada 1817 untuk mendirikan sebuah pangkalan dagang di Bali.

Namun, barang yang seharusnya dikirim ke Buleleng ternyata terdampar di Badung dan muatannya dirampas oleh penguasa setempat.

Peristiwa seperti ini terjadi berkali-kali hingga membuat Belanda sangat kesal dan ingin menghapus Hukum Tawan Karang.

Upaya penghapusan

Usaha dari pihak Belanda untuk menghapus Hukum Tawan Karang mulai dilakukan dengan jalan damai, yaitu dengan membuat perjanjian dengan raja-raja Bali.

Komisaris Koopman mengajukan beberapa ketentuan, yang kemudian disepakati pada 1841.

Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa kapal Belanda kandas atau terdampar harus diberi pertolongan.

Sebagai gantinya, Belanda bersedia membayar ganti rugi atau uang tebusan jika kapalnya terdampar.

Meski raja-raja di Bali mau menaati perjanjian tersebut, dalam praktiknya Belanda tidak mau membayar uang tebusan sehingga Hukum Tawan Karang masih dilakukan oleh rakyat.

Baca juga: Puputan Margarana, Pertempuran Rakyat Bali Mengusir Belanda

Memicu Puputan

Pada 1844, dua kapal Belanda terdampar di sebuah pantai yang termasuk dalam wilayah Kerajaan Buleleng.

Belanda kemudian mengirim utusan agar kapal-kapalnya dibebaskan dan Hukum Tawan Karang segera dihapus.

Tidak hanya itu, Belanda memaksa Kerajaan Buleleng untuk mengakui kekuasaannya. Namun, penguasa Buleleng serta patihnya, Gusti Ketut Jelantik, tidak menghiraukan permintaan itu.

Oleh karenanya, Belanda mengirim pasukan dan menyerbu Benteng Jagaraga, yang menjadi pertahanan bagi Kerajaan Buleleng.

Kokohnya pertahanan Buleleng, yang dibantu oleh Kerajaan Karangasem, memaksa Belanda mengerahkan ekspedisi secara besar-besaran sebanyak tiga kali.

Rakyat Bali kemudian menghadapinya dengan perang habis-habisan atau puputan, demi mempertahankan kedaulatannya.

Pada 1849, Belanda akhirnya berhasil merebut benteng pertahanan terakhir Kerajaan Buleleng dan menghapus Hukum Tawan Karang dari beberapa kerajaan di Bali.

Namun, Belanda masih harus menghadapi Kerajaan Badung, yang tetap melaksanakan hukum ini hingga tahun 1906.

 

Referensi:

  • Sutaba, I Made. (1983). Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Bali. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com