Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Korupsi VOC di Nusantara

Kompas.com - 12/07/2021, 10:00 WIB
Widya Lestari Ningsih,
Nibras Nada Nailufar

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sejak didirikan pada 1602, kongsi dagang VOC (Vereenidge Oost Indische Compagnie) dianggap sebagai akar kolonialisme dan imperialisme di Indonesia.

Meski hanya berkedudukan sebagai organisasi dagang, pada perkembangannya VOC memiliki kekuasaan politik cukup besar layaknya sebuah negara.

Pada abad ke-17 hingga awal abad ke-18, VOC mencapai puncak kejayaan ditandai dengan penguasaannya terhadap hampir seluruh wilayah Indonesia dan jalur perdagangan dunia.

Namun, di balik keuntungan perdagangan rempah-rempah yang melimpah, berbagai persoalan mulai menggerogoti organisasi ini hingga akhirnya dibubarkan pada 1799.

Salah satu penyebab runtuhnya VOC adalah adanya praktik korupsi yang dilakukan para pejabat-pejabatnya.

Kas VOC merosot

Pada 1749, terjadi perubahan mendasar dalam lembaga kepengurusan VOC di mana Parlemen Belanda menetapkan Raja Willem IV sebagai penguasa tertinggi VOC.

Dengan VOC berada di bawah kekuasaan raja langsung, para pejabatnya pun mulai akrab dengan pemerintah Belanda, sementara kepentingan pemegang saham diabaikan.

Selain itu, para pejabat VOC mulai berpikir untuk memperkaya diri sendiri.

Alhasil, kas VOC semakin merosot karena digunakan untuk membiayai perang, membayar hutang, dan dipakai para pejabatnya untuk berfoya-foya.

Baca juga: Perlawanan Terhadap VOC di Maluku, Makassar, Mataram, dan Banten

Praktik korupsi pejabat VOC

Korupsi yang dilakukan oleh pejabat VOC dilakukan dengan berbagai macam cara.

Ketika masa pergantian jabatan, para pejabat VOC sering menerima hadiah dan upeti.

Sistem upeti inilah yang mendorong terjadinya korupsi. Bahkan biaya perang juga dimanfaatkan para pejabat VOC sebagai ladang korupsi mereka.

Kemudian, pejabat VOC juga gemar melakukan perdagangan gelap.

Salah satu pejabat VOC yang melakukan korupsi adalah Gubernur Jenderal van Hoorn, yang menumpuk harta hingga 10 juta gulden ketika kembali ke Belanda.

Padahal gaji resminya hanya sekitar 700 gulden setiap bulan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com