Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
BRIN
Badan Riset dan Inovasi Nasional

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) adalah lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. BRIN memiliki tugas menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi.

Inovasi Bioteknologi untuk Menekan Laju Perubahan Iklim

Kompas.com - 01/12/2022, 17:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Dicky Adihayyu Monconegoro

Perubahan iklim, seperti perubahan suhu dan pola cuaca, secara alami dapat terjadi dalam waktu yang sangat panjang.

Namun, karena aktivitas manusia seperti pembakaran hutan (deforestasi), penggunaan bahan bakar fosil, batu bara, minyak, dan gas, perubahan iklim menjadi lebih cepat dari yang seharusnya terjadi.

Pembakaran bahan bakar fosil dapat menghasilkan emisi gas rumah kaca, yakni karbon dioksida (CO?) dan metana, yang membuat lapisan yang menyelubungi Bumi dan memantulkan panas matahari di dalam atmosfer, sehingga meningkatkan suhu di permukaan Bumi.

Emisi gas rumah kaca dapat dihasilkan dari penggunaan bahan bakar untuk kendaraan bermotor, batu bara untuk pembangkit listrik, pembukaan lahan dengan pembakaran, dan tempat pembuangan sampah yang tidak dikelola dengan baik.

Baca juga: Perubahan Iklim dan Epigenetik

Dalam satu dekade terakhir, peningkatan emisi menyebabkan Bumi 1,1°C lebih panas daripada tahun 1800-an.

Apabila kenaikan suhu permukaan bumi meningkat sampai 3°C, perubahan iklim akan semakin cepat dan bencana besar akan melanda tempat tinggal manusia di Bumi.

Gelombang panas, pencairan es kutub, banjir bandang, kebakaran hutan, naiknya permukaan laut, penggurunan, dan penurunan keanekaragaman hayati merupakan salah satu ciri pertanda perubahan iklim akan menuju percepatan yang signifikan.

Semenjak revolusi industri pada tahun 1800-an hingga saat ini, peningkatan suhu permukaan Bumi menunjukkan laju peningkatan pemanasan global yang semakin tinggi.

Kemudian, dalam kurun waktu kurang dari 100 tahun yang akan datang, apabila tidak segera dilakukan pengurangan laju peningkatan pemanasan global, mungkin anak cucu kita akan menghadapi cuaca ekstrem hingga tujuh kali lipat lebih buruk.

Tanpa kita sadari, perubahan iklim di Indonesia sudah benar-benar terjadi, seperti misalnya, pergeseran musim hujan dan musim kemarau yang tidak menentu, naiknya permukaan air laut pada pesisir pantai, hujan disertai angin puting beliung, tanah longsor, rusaknya ekosistem terumbu karang di berbagai daerah, suhu udara terasa lebih panas daripada satu dekade yang lalu, dan sebagainya.

Jika tidak dilakukan segera tindakan preventif seperti pengurangan penggunaan bahan bakar fosil, penghematan penggunaan listrik, pengurangan deforestasi, dan pencarian alternatif sumber energi baru terbarukan, bukan tidak mungkin laju penambahan pemanasan global akan segera mencapai 3°C.

Untuk menunda kenaikan suhu Bumi, perlu dilakukan berbagai macam upaya, agar percepatan perubahan iklim dan pemanasan global dapat ditekan, sehingga dalam beberapa abad mendatang anak cucu kita masih dapat menghirup udara yang bersih dan segar, seperti yang kita rasakan.

Kebiasaan buruk manusia yang berkontribusi pada peningkatan pemanasan global seperti penambahan emisi karbon harus segera diubah dan diperbaiki, dengan diikuti regulasi pemimpin-pemimpin dunia yang juga perlu dilakukan untuk menjaga suhu Bumi.

Saat ini masih ada waktu dan kesempatan untuk berubah dan mengurangi emisi karbon yang dapat mempercepat pemanasan global.

Sehingga, dunia dengan suhu pemanasan global yang mencapai 3°C hanya sebagai perhitungan model matematis saja dan tidak menjadi kenyataan.

Baca juga: Melindungi Pohon Berusia Tua Bisa Kurangi Perubahan Iklim

Ilustrasi perubahan iklimShutterstock Ilustrasi perubahan iklim

Inovasi bioteknologi mikroalga

Satu hal yang diperlukan saat ini adalah, inovasi teknologi yang berkelanjutan untuk mengurangi emisi karbon di atmosfer.

Inovasi tersebut, dapat menjadi suatu upaya perubahan, agar perubahan iklim dapat diperlambat dan generasi yang akan datang masih akan dapat menikmati dan menjalani hidup dengan kondisi yang sama seperti saat ini dan bahkan lebih baik lagi.

Salah satu inovasi teknologi yang dapat dikembangkan dan diaplikasikan adalah inovasi bioteknologi mikroalga, untuk mengurangi konsentrasi emisi karbon, serta pemanfaatannya sebagai biofuel yang ramah lingkungan.

Baca juga: Hewan Apa yang Dapat Bertahan Terhadap Perubahan Iklim?

Dengan adanya inovasi tersebut dan dukungan dari pemimpin-pemimpin dunia untuk mengurangi emisi karbon, penurunan laju perubahan iklim dan pemanasan global akan segera terwujud.

Mikroalga merupakan sumber energi baru terbarukan yang berasal dari organisme hidup dengan pertumbuhan yang cepat dan mampu menghasilkan asam lemak yang berpotensi sebagai bahan baku pembuatan biofuel/biodiesel.

Mikroalga memiliki bermacam spesies yang dapat digunakan juga sebagai bahan makanan (protein sel tunggal), maupun vektor vaksin yang efektif.

Sebagai bahan baku pembuatan biodiesel perlu dipilih spesies mikroalga yang memiliki kandungan asam lemak hampir 50% dari berat keringnya.

Minyak yang diekstraksi dari mikroalga juga tidak beracun dan dapat dengan mudah didegradasi di lingkungan.

Mikroalga dapat memanfaatkan limbah (seperti molases, pengolahan air IPAL, limbah pertanian) sebagai media tumbuh (nutrisi) dan CO? sebagai sumber karbon, serta cahaya (matahari) untuk produksi biomassa selnya.

Mikroalga dapat ditumbuhkan beberapa hari dalam bioreaktor dengan mengandalkan proses fotosintesis yang mengubah energi matahari menjadi energi kimia.

Proses produksi (kultivasi) mikroalga juga menggunakan energi yang relatif rendah karena hanya membutuhkan pompa aerasi dan sumber cahaya.

Baca juga: Perubahan Iklim Perburuk Penyebaran Penyakit Menular pada Manusia

Mikroalga berpotensi dapat menggantikan batu bara, bahan bakar minyak, dan gas alam karena mikroalga mampu diproduksi skala besar dan mampu mengurangi konsentrasi emisi CO? dalam atmosfer.

Biomassa mikroalga yang diproduksi dapat dikonversi menjadi bahan bakar ramah lingkungan yang diproses secara thermokimia, kimia dan biokimia.

Dan untuk meningkatkan kandungan minyak (asam lemak) yang dapat diekstrak, pendekatan rekayasa genetik telah dilakukan untuk memaksimalkan penggunaannya.

Dengan begitu, teknologi pemanfaatan mikroalga sebagai sumber energi baru terbarukan akan semakin ekonomis dan terjangkau bagi semua kalangan.

Selain pemanfaatan sebagai sumber energi, sisa biomassa dari ekstraksi tersebut dapat digunakan sebagai pupuk ataupun pakan ternak sehingga tidak ada yang terbuang sia-sia.

Hal ini membuat mikroalga menjadi biofuels generasi ketiga yang sangat menjanjikan untuk menggantikan sumber energi fosil yang tidak dapat diperbarui dan tidak ramah lingkungan.

Penyerapan emisi karbon dengan kultivasi mikroalga juga sangat menjanjikan karena 1 kg biomassa mikroalga dapat menyerap 1,83 kg CO?.

Tidak hanya itu, kultivasi mikroalga dapat menggunakan sumber N dan P yang berasal dari air limbah dan sangat berpotensi digunakan sebagai agen bioremediasi wastewater.

Kultivasi mikroalga dapat dilakukan dengan kolam terbuka maupun dengan fotobioreaktor tertutup. Terdapat beberapa perbedaan dari kedua jenis metode tersebut.

Pada kolam terbuka, kultivasi dapat dilakukan dengan sederhana dan murah, akan tetapi terdapat risiko kontaminasi dan kontrol lingkungan yang sulit akibat sistemnya yang terbuka.

Baca juga: 5 Penyebab Perubahan Iklim

Pada kolam terbuka juga diperlukan area yang cukup luas untuk melakukan kultivasinya. Pada fotobioreaktor, investasi pembuatan sistem bioreaktor cukup tinggi dan sistem pengaturan yang cukup rumit.

Akan tetapi, kultivasi dengan fotobioreaktor dapat mengurangi potensi kontaminasi serta kondisi lingkungan yang terkontrol sehingga produksi biomassa mikroalga dapat dilakukan lebih efektif dan efisien.

Penekanan laju pemanasan global tidak dapat ditunda-tunda hingga tahun 2030 ataupun tahun 2050.

Usaha perubahan untuk mengatasi masalah perubahan iklim harus segera diselesaikan bersama-sama secepat mungkin.

Penyelesaian tersebut dapat diatasi mulai dari hal terkecil, seperti berhemat pemakaian energi (listrik, bahan bakar, dsb.) ataupun melakukan penanaman di area terbatas (urban farming), sehingga masyarakat juga ikut andil dalam pengurangan konsentrasi emisi karbon dan menjaga suhu Bumi tidak melebihi 1,5°C.

Hal tersebut sejalan dengan komitmen pemimpin tinggi dunia, termasuk Presiden Republik Indonesia, untuk menekan laju pemanasan global dengan regulasi-regulasi pemerintah dalam misi pengurangan emisi karbon tersebut.

Dicky Adihayyu Monconegoro
Perekayasa Pusat Riset Mikrobiologi Terapan - Badan Riset dan Inovasi Nasional

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com