Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
BRIN
Badan Riset dan Inovasi Nasional

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) adalah lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. BRIN memiliki tugas menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi.

Meneroka Wayang dan Kajian Ilmu

Kompas.com - 19/09/2022, 09:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Mikka Wildha Nurrochsyam

Wayang warisan budaya tak benda diakui oleh UNESCO (United Nations, Education, Scientific and Cultural Organization) sebagai karya besar budaya dunia (a Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity).

Karya wayang yang luar biasa itu, dapat dipandang dari sisi tuntunan (etis) dan tontonan (estetis) tetapi juga dari sisi kawruh (epistemologis).

Dari sisi epistemologis, wayang dipahami dan dipelajari secara ilmiah melalui perspektif keilmuan. Melalui kajian ilmiah beberapa sudut pandang teori maupun argumentasi, dapat digunakan untuk menafsirkan wayang secara logis dan rasional.

Baca juga: Sejarah Akulturasi Budaya China dalam Wayang Cina Jawa di Yogyakarta

Wayang telah menjadi kajian berbagai keilmuan, diantaranya: sosiologi, antropologi, sejarah, filsafat dan sastra serta arkeologi.

Melalui pendekatan sosiologi, Benedict R.O’G. Anderson seorang ilmuwan politik menghasilkan sebuah buku yang berjudul Mythology and The Tolerance of The Javanese (2009).

Dalam bukunya dijelaskan, bahwa mitologi wayang Jawa merupakan upaya untuk menyelidiki eksistensi orang Jawa secara lebih baik.

Sedangkan, dalam perspektif antropologi, wayang diteliti oleh Victoria M. Clara van Groenendael.

Risetnya dilakukan relatif lama antara tahun 1976–978 di daerah-daerah bekas kerajaan Jawa telah menghasilkan karya dengan judul “Dalang di Balik Layar”.

Dalam pendekatan sejarah, wayang telah menjadi perdebatan klasik antara kelompok ilmuwan yang mendukung argumen, bahwa wayang berasal Jawa dengan kelompok yang mengatakan wayang dari India dan Cina.

Pendapat wayang asli Jawa diantaranya dikemukakan oleh G.A.J Hazeu. Dalam disertasinya yang dipertahankan di Universitas Leiden, ia menyimpulkan wayang asli Jawa.

Sedangkan, wayang berasal dari India dipertahankan oleh Pischel, Guru Besar Indology di Universitas Berlin.

Dan, wayang berasal dari China dipertahankan oleh Gosling yang berpendirian bahwa kata “ringgit”, yang merupakan Bahasa Jawa halus kata “wayang” itu berasal dari “yinggih” Bahasa China.

Selain dilihat dari perspektif ilmu, wayang dapat dilihat dari bidang filsafat moral atau etika. Franz Magnis Suseno adalah sosok filsuf moral yang mengemuka dalam penulisan etika wayang. Dalam bukunya Kita dan Wayang (1982).

Etika dilihatnya bukan pemikiran yang jauh dari hidup sehari-hari, tetapi dekat dengan hidup yang nyata. Wayang memberikan contoh sikap bebas dan bertanggung jawab dalam situasi yang konkrit.

Baca juga: 9 Fakta Galaksi Bima Sakti, dari Kisah Wayang sampai Serangan Bintang

Ilustrasi wayang kulit.WIKIMEDIA COMMONS Ilustrasi wayang kulit.

Wayang dalam perspektif filsafat juga ditemukan dalam buku Filsafat Wayang (2009).

 

Buku ini merupakan hasil penelitian dari sekelompok peneliti dan akademisi dari disiplin ilmu filsafat dan seni pedalangan yang dipimpin oleh Solichin, seorang pakar pewayangan, yang menyandang gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada untuk bidang Filsafat Wayang.

Penelitian ini mula-mula muncul sebagai respons tulisan Zoetmulder dalam Majalah Djawa berjudul “Bukan Falsafah Sendiri” (1940) yang mempertanyakan mengenai filsafat asli Indonesia.

Sampai sekarang, mata kuliah Filsafat Wayang telah diajarkan di beberapa Perguruan Tinggi antara lain: Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Program Studi Filsafat Universitas Indonesia, dan ISI Surakarta Prodi Pedalangan.

Dalam bidang susastra terdapat kakawin, yang menunjukkan adanya pergelaran wayang yaitu kakawin “Arjuna Wiwaha” yang ditulis oleh Mpu Kanwa pada bait 59 di masa pemerintahan Airlangga abad ke-11.

Baca juga: Lawang Seketeng di Indramayu, Bukti Kesinambungan Budaya Hindu Buddha dan Islam

Pada masa ini, pergelaran wayang berfungsi sebagai tontonan dan tuntunan yang digelar dengan peralatan yang lengkap.

Sebelumnya, tidak ada catatan tertulis tentang kapan wayang itu dipergelarkan untuk pertama kalinya.

Namun, wayang dalam pengertian cerita yang ditulis sebagai karya sastra telah ditemukan dalam Kakawin Ramayana, yang muncul pada zaman pemerintahan Dyah Balitung yaitu pada periode 899-911 Masehi.

Dalam bidang arkeologi membuktikan, bahwa pagelaran wayang sudah ada berdasarkan Prasasti Dyah Balitung dengan angka tahun 907 M. Dalam prasasti itu tertulis, “Si galigi mawayang buat Hyang macarita Bimma ya Kumara,”.

Kalimat ini menunjukkan adanya pergelaran wayang yang berfungsi sebagai sebuah persembahan kepada hyang (roh nenek moyang).

Dari data arkeologi sebelumnya, tidak diketahui secara pasti kapan pergelaran wayang dimulai.

Meskipun demikian, pada relief-relief candi di Jawa terdapat adegan-adegan cerita wayang yang diambil dari kisah Ramayana, seperti di kompleks Candi Prambanan yang didirikan kurang lebih pada abad ke-8, pada Candi Roro Jonggrang terdapat relief Ramayana secara lengkap.

Relief-relief wayang yang statis ini dimungkinkan menjadi inspirasi seniman pada masa lalu untuk mentransformasikannya ke dalam pergelaran wayang yang lebih dinamis.

Cerita wayang dari relief lalu dituangkan dalam gambar wayang dalam bentuk kertas atau kain, yang dikenal dengan wayang Beber.

Baca juga: Mengenal Payung Purba dari Masa Hindu-Buddha Lewat Relief Candi Sukuh

Ilustrasi wayang.SHUTTERSTOCK / By A Hanief AN Ilustrasi wayang.

Perkembangan selanjutnya dari bentuk tokoh-tokoh wayang relief di candi dan wayang Beber ini dibuat tokoh wayang tersendiri. Sebagai buktinya yaitu wayang Parwa Bali yang popular di Pulau Bali saat ini.

Para ahli memperkirakan, bahwa wayang di Bali merupakan prototipe wayang di Jawa. Hal ini dibuktikan dengan wayang di Bali sikap dan bentuknya tegak, mirip dengan gambar relief pada Candi Jago di dekat Tumpang Malang yang berasal dari pertengahan abad ke-13.

Wayang kulit Bali juga mirip dengan gambar-gambar relief di Candi Penataran, Blitar yang dibangun pada abad ke-14 M.

Kajian ilmu mengenai wayang ini menjadi penting, dari sisi pengelolaan warisan budaya, ingin memanfaatkan warisan budaya wayang untuk kepentingan ilmu dengan membawa kandungan ilmiah wayang ke dalam forum-forum ilmiah dan akademik, dan mengajarkan wayang secara akademik di Perguruan Tinggi.

Wayang juga diharapkan dapat lestari karena terus dikaji dalam berbagai perspektif keilmuan.

Sedangkan, dari sisi etika, sebagai kajian moral secara kritis dan rasional, wayang dapat menjadi pembelajaran untuk membangun karakter moral generasi muda.

 

Mikka Wildha Nurrochsyam

Peneliti di Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com