Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lawang Seketeng di Indramayu, Bukti Kesinambungan Budaya Hindu Buddha dan Islam

Kompas.com - 30/04/2021, 08:05 WIB
Ellyvon Pranita,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Lawang Seketeng di Indramayu bisa dijadikan pembelajaran kesinambungan konsep penataan ruang dari kebudayaan Hindu-Buddha dengan kebudayaan Islam di Jawa.

Hal ini disampaikan oleh Sejarawan sekaligus Guru Besar Universitas Indonesia Prof Agus Aris Munandar dalam diskusi daring bertajuk Webinar Nasional Kebudayaan Indramayu: Bedah Buku Lawang Seketeng - Mengeja Arkeologi Islam di Jawa, Kamis (22/4/2021).

Menurut Agus, Lawang Seketeng yang ada di Indramayu menjadi salah satu bagian dari bukti adanya kesinambungan konsep perkembangan tata ruang atau arkeologi Hindu-Buddha ke arkeologi Islam di nusantara.

Baca juga: Fondasi Masjid dari Periode Awal Islam Ditemukan di Israel

Apa itu Lawang Seketeng?

Lawang Seketeng diartikan sebagai sebutan untuk pintu gerbang dengan bentuk gapura sibak atau candi bentar (candi terbelah).

Gerbang candi bentar ini disebut mirip atau serupa dengan Wringin Lawang dari masa Majapahit di situs Trowulan, Mojokerto.

Sementara, pintu gerbang yang memiliki atap itu sering disebut dengan Lawang Kori.

Secara umum, Agus menjelaskan, tidak semua peristiwa kesinambungan Hindu-Buddha ke penyebaran Islam di nusantara bisa dijelaskan dengan Lawang Seketeng ini. 

"Ini hanya bagian kecil dari bukti adanya kesinambungan konsep Hindu Buddha dengan Islam di Pulau Jawa, karena saya baru mengkaji bagian Pulau Jawa saja," kata Agus.

Maksud dari kesinambungan konsep tata ruang kebudayaan Hindu-Buddha ke masa kebudayaan Islam adalah, beberapa hal yang telah menjadi budaya masyarakat Hindu-Buddha pada masanya, masih terus berlanjut dilakukan oleh masyarakat Islam di periode atau masa setelahnya.

"Artinya gini, konsep yang ada di masa kebudayaan Hindu-Buddha itu masih terus berlanjut ke masa kebudayaan Islam di Jawa," jelasnya.

Lebih lanjut, Agus menjelaskan, belajar dari Lawang Seketeng, ada empat kajian yang membahas tentang konsep penataan ruang dari kebudayaan Hindu-Buddha dan kebudayaan Islam di Jawa.

1. Gunung suci

Agus menjelaskan, konsepsi kesinambungan melalui pengamatan gunung ini dapat dilihat dari Gunung Mahameru (Meru) sebagai pusat alam semesta (makrokosmos).

"Gunung Mahameru, gunung suci, gunung yang patut dimuliakan (dalam konsep masa kebudayaan Hindu-Buddha)," kata dia.

Nah ternyata Gunung Mahameru yang dianggap sebagai gunung suci pada masa Hindu-Buddha itu, masih terus berlanjut untuk dihormati di masa konsepsi budaya masyarakat Islam.

"Misalnya, makam para wali sembilan (wali songo/ umat Islam) itu, ada beberapa wali yang dimakamkan di daerah dataran tinggi, di daerah gunung," ujarnya.

"Di Cirebon ada wali yang dimakamkan di Gunung Djati jadi Sunan Gunung Djati, walaupun bukan di Gunung Mahameru tetapi tetap di dataran tinggi," imbuhnya.

Ada pula Sunan Giri yang juga dimakamkan di daerah yang tergolong dataran tinggi sekitar pegunungan di Jawa Timur.

Berikutnya di Gunung Mulia ada makam Sunan Mulia. Serta, kompleks pemakaman raja-raja Kerajaan Majapahit banyak berada di dataran tinggi pegunungan termasuk di Wonogiri.

"Jadi ada suatu anggapan kalau tempat yang tinggi atau gunung adalah suci. Nah, kemuliaan terhadap gunung itu sudah ada sejak zaman Buddha, dalam hal ini masih tetap dilanjutkan (masa Islam)," ucap dia.

Baca juga: 5 Fakta Gunung Semeru Meletus dan Rekomendasi PVMBG

2. Triloka

Konsep kesinambungan kebudayaan Hindu Buddha dengan kebudayaan Islam berikutnya adalah konsep triloka, di mana terdapat keyakinan bahwa dunia dibagi menjadi tiga.

Pembagian tersebut adalah; dunia yang penuh hasrat, dunia yang dapat ditekan hasrat atau nafsunya, dan dunia yang suci.

Dalam Hindu, konsep triloka atau tribuana adalah konsep keseimbangan diantara tiga dunia yang bernama Sakala (dunia atas), Sakala Niskala (dunia tengah), dan Niskala (dunia bawah), atau biasanya dipanggil sebagai Bhur Loka, Bhuvah Loka, dan Svah Loka.

"Pembagian tiga itu ternyata diterapkan juga dalam bentuk penataan banyak kota, pembagian tiga (dunia), dalam bentuk penataan istana raja atau sultan-sultan Islam di Jawa, itu masih berlanjut, bagian depan, bagian tengah, bagian belakang," jelasnya.

Bagian depan istana kerajaan biasanya yang menghadap ke alun-alun. Bagian tengah istana biasanya sekat area perantara istana, dan bagian belakang adalah bagian dalam istana tempat bermukim raja.

Sehingga, pembagian triloka ini tetap dikenal atau dilanjutkan pada konsep tata ruang oleh Islam pada masa kerajaan.

3. Astradikpala

Konsep kesinambungan kebudayaan Hindu Buddha pada kebudayaan Islam ketiga adalah astadikpalaka, yakni adanya delapan dewa penjaga mata angin.

Konsep arah-arah mata angin ini terlihat juga dari penataan dari delapan dewa pada masa Hindu. 

Hal ini menurut Agus, sangat konkret sekali dengan konsep penataan di istana raja masa Islam.

"Di istana raja, konsep pentingnya mata angin tertentu, itu masih kelihatan di penataan istana zaman Islam," tutur sejarawan asli Indramayu ini.

Baca juga: Kutub Magnet Bumi Bergeser, Perlukah Indonesia Revisi Arah Mata Angin?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com