Namun sebaliknya, jika memang Kota Yogyakarta memang diarahkan pada industri pariwisata, Derajad mengatakan, mestinya ada klusterisasi wilayah dan kontrol terhadap ruang bisnis dilakukan maksimal.
Artinya, lanjut dia, konflik harus dipahami sebagai sisi lain dari perkembangan kota yang dirancang oleh pemerintah sendiri dan harusnya diawasi secara ketat.
“Jika tidak diawasi dan kendornya apartus negara, menghasilkan konflik Babarsari tersebut,” kata dia.
2. Negosiasi ulang perbedaan ruang bisnis dan permukiman
Saran berikutnya yang harus dilakukan menanggapi kasus bentrok Babarsari ini yaitu mengosiasikan ulang perbedaan ruang bisnis dan permukiman.
Baca juga: Benarkah Media Sosial Bisa Mengeskalasi Kerusuhan 22 Mei?
Dalam saran kedua ini, Yogyakarta bisa mencontoh apa yang telah diterapkan di Jakarta, di mana sebagain wilayah perumahan di Jakarta sudah melarang rumah untuk bisnis, begitu juga memastikan ruang private (pribadi) dan publik.
Dengan mengatur ulang mana ruang pribadi, mana ruang publik, mana kawasan berbisnis, dan di mana area perumahan, akan membantu mempermudah lokalisir jikalau terjadi konflik.
“Tidak seperti di Babarsari, ruang private (pribadi) di ubah jadi ruang usaha,” kata dia.
3. Ubah konsep pengamanan
Solusi lain untuk mencegah kejadian konflik serupa, kerusuhan di Babarsari ini, saran berikutnya yakni mengubah konsep pengamanan dari ruang usaha pribadi menjadi kawasan, sehingga kelompok pengamanan partikelir tidak diswa usaha per usaha.
“Masyarakat lokal bisa menjadi bagian dari pengamanan kawasan tersebut dan pengamanan bisa menginduk pada struktur resmi polsek (setempat),” jelas Derajad.
Baca juga: Soal Orangtua Ajak Anak Nonton Kerusuhan, Begini Dampak Buruknya