Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

DMO Batu Bara Disebut Tak Seharusnya Masuk dalam RUU Energi Baru Terbarukan

Kompas.com - 20/05/2022, 09:03 WIB
Zintan Prihatini,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

 

Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama sejumlah organisasi lainnya, juga menyoroti kerancuan RUU EBT yang mencampur energi fosil, nuklir dan energi terbarukan dalam satu undang-undang.

Menurut IESR, sumber energi baru yang merupakan produk hilirisasi batubara, dan PLTN ini akan memperbesar potensi aset terbengkalai serta tidak signifikan menekan emisi gas rumah kaca.

“RUU ini sangat dipengaruhi oleh kepentingan status quo, yaitu industri batu bara dan nuklir, yang menyelinap masuk menggunakan definisi energi baru," kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

"Implikasinya RUU ini tidak fokus mengembangkan energi terbarukan yang sebenarnya butuh dorongan politik dan kerangka regulasi yang lebih kuat sehingga dapat berkembang cepat, mendukung cita-cita transisi energi,” sambung dia.

Baca juga: Kesepakatan di COP26, Pemakaian Batu Bara Bakal Dihentikan

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Paul Butarbutar menyampaikan RUU EBT seharusnya menjadi dasar hukum untuk memaksimalkan investasi di bidang energi baru dan terbarukan.

Dengan begitu, upaya untuk merealisasikan net zero emission di tahun 2060 bisa tercapai secepatnya.

Di samping itu, Paul menyampaikan bahwa pemerintah dapat memprioritaskan revisi UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, ketimbang memasukannya dalam RUU tersebut.

Hal ini dilakukan untuk mendorong pemanfaatan energi nuklir agar lebih optimal.

“Apabila pemerintah ingin mendorong pemanfaatan nuklir untuk pembangkitan, maka sebaiknya pemerintah memprioritaskan revisi UU 10 tahun 1997, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar hukum yang kuat untuk investasi PLTN," pungkasnya.

Baca juga: Greenpeace Soroti Rencana PLN Membangun Pembangkit Listrik Batu Bara

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com