Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

DMO Batu Bara Disebut Tak Seharusnya Masuk dalam RUU Energi Baru Terbarukan

Kompas.com - 20/05/2022, 09:03 WIB
Zintan Prihatini,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Koordinator Bersihkan Indonesia (BI) Ahmad Ashov Birry mengatakan, ketentuan Domestic Market Obligation atau DMO batu bara tidak tepat masuk dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT).

Dia menilai, batu bara adalah salah satu energi kotor dan masih menyebabkan emisi yang tinggi.

Rencana ketentuan DMO batu bara di tengah momentum Indonesia menjadi tuan rumah G20, lanjutnya, justru dapat memberikan sinyal negatif terhadap komitmen pemerintah untuk memanfaatkan penggunaan energi baru dan terbarukan

"Kita ingin keluar dari (penggunaan) batu bara, karena sudah diakui secara global bahwa batu bara paling kotor dan harus segera kita tinggalkan," papar Ahmad dalam media briefing yang digelar di Jakarta, Kamis (19/5/2022).

Baca juga: Listrik 10 Juta Pelanggan Terancam Padam akibat Defisit Batu Bara, Mungkinkah Dialihkan ke Energi Terbarukan?

Menurutnya, di momen G20 Indonesia perlu segera keluar dari krisis dan dampak emisi yang semakin meningkat.

"Urgensi itu seharusnya, harapannya tentu dijawab oleh pemerintah Indonesia dengan sebuah kebijakan yang terang, jelas untuk mendukung energi yang adil dan berkelanjutan," ujar Ahmad.

Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, sebelumnya mengusulkan besaran DMO ke dalam RUU EBT, untuk mencegah kelangkaan batu bara melalui skema pemenuhan di dalam negeri.

Adapun penyediaan batu bara bagi kebutuhan pembangkit listrik menggunakan mekanisme DMO dengan ketentuan minimal 30 persen dari rencana produksi batu bara, dan harga paling tinggi ialah sebesar 70 US dolar per ton.

Ia menambahkan, pemerintah harus membantu industri bahwa saat ini adalah waktunya untuk berpindah ke energi terbarukan.

Pasalnya, beberapa teknologi seperti bio massa terutama dari kayu yang kerap digunakan pelaku industri, berpotensi memberikan tekanan pada alih fungsi lahan yang berkaitan dengan emisi karbon.

"Kita harapkan tentu sinyal dari pemerintah 'oke kita akan tinggalkan batu bara, dan kita akan beralih ke energi yang terbarukan'. Tapi kita lihat disisipkan pencairan dari batu bara, yang pada prosesnya masih membutuhkan energi, pilihan energi tersebut akan kita lihat emisinya tinggi atau tidak dan hasilnya masih sama saja," imbuhnya.

Kemudian, Ahmad turut menyinggung soal penyaluran dana publik, khususnya untuk memisahkan antara energi tidak terbarukan, dengan energi terbarukan.

"Alokasi dana publik menjadi penting ke mana (disalurkan), karena diasosiasikannya energi tidak terbarukan, tidak berkelanjutan dengan energi terbarukan jadi potensi penyaluran dana publik yang tidak efisien," jelasnya.

Baca juga: Pilihan Alternatif Batu Bara sebagai Sumber Energi

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com