KOMPAS.com - Koordinator Bersihkan Indonesia (BI) Ahmad Ashov Birry mengatakan, ketentuan Domestic Market Obligation atau DMO batu bara tidak tepat masuk dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT).
Dia menilai, batu bara adalah salah satu energi kotor dan masih menyebabkan emisi yang tinggi.
Rencana ketentuan DMO batu bara di tengah momentum Indonesia menjadi tuan rumah G20, lanjutnya, justru dapat memberikan sinyal negatif terhadap komitmen pemerintah untuk memanfaatkan penggunaan energi baru dan terbarukan.
"Kita ingin keluar dari (penggunaan) batu bara, karena sudah diakui secara global bahwa batu bara paling kotor dan harus segera kita tinggalkan," papar Ahmad dalam media briefing yang digelar di Jakarta, Kamis (19/5/2022).
Menurutnya, di momen G20 Indonesia perlu segera keluar dari krisis dan dampak emisi yang semakin meningkat.
"Urgensi itu seharusnya, harapannya tentu dijawab oleh pemerintah Indonesia dengan sebuah kebijakan yang terang, jelas untuk mendukung energi yang adil dan berkelanjutan," ujar Ahmad.
Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, sebelumnya mengusulkan besaran DMO ke dalam RUU EBT, untuk mencegah kelangkaan batu bara melalui skema pemenuhan di dalam negeri.
Adapun penyediaan batu bara bagi kebutuhan pembangkit listrik menggunakan mekanisme DMO dengan ketentuan minimal 30 persen dari rencana produksi batu bara, dan harga paling tinggi ialah sebesar 70 US dolar per ton.
Ia menambahkan, pemerintah harus membantu industri bahwa saat ini adalah waktunya untuk berpindah ke energi terbarukan.
Pasalnya, beberapa teknologi seperti bio massa terutama dari kayu yang kerap digunakan pelaku industri, berpotensi memberikan tekanan pada alih fungsi lahan yang berkaitan dengan emisi karbon.
"Kita harapkan tentu sinyal dari pemerintah 'oke kita akan tinggalkan batu bara, dan kita akan beralih ke energi yang terbarukan'. Tapi kita lihat disisipkan pencairan dari batu bara, yang pada prosesnya masih membutuhkan energi, pilihan energi tersebut akan kita lihat emisinya tinggi atau tidak dan hasilnya masih sama saja," imbuhnya.
Kemudian, Ahmad turut menyinggung soal penyaluran dana publik, khususnya untuk memisahkan antara energi tidak terbarukan, dengan energi terbarukan.
"Alokasi dana publik menjadi penting ke mana (disalurkan), karena diasosiasikannya energi tidak terbarukan, tidak berkelanjutan dengan energi terbarukan jadi potensi penyaluran dana publik yang tidak efisien," jelasnya.
Baca juga: Pilihan Alternatif Batu Bara sebagai Sumber Energi
Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama sejumlah organisasi lainnya, juga menyoroti kerancuan RUU EBT yang mencampur energi fosil, nuklir dan energi terbarukan dalam satu undang-undang.
Menurut IESR, sumber energi baru yang merupakan produk hilirisasi batubara, dan PLTN ini akan memperbesar potensi aset terbengkalai serta tidak signifikan menekan emisi gas rumah kaca.
“RUU ini sangat dipengaruhi oleh kepentingan status quo, yaitu industri batu bara dan nuklir, yang menyelinap masuk menggunakan definisi energi baru," kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.
"Implikasinya RUU ini tidak fokus mengembangkan energi terbarukan yang sebenarnya butuh dorongan politik dan kerangka regulasi yang lebih kuat sehingga dapat berkembang cepat, mendukung cita-cita transisi energi,” sambung dia.
Baca juga: Kesepakatan di COP26, Pemakaian Batu Bara Bakal Dihentikan
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Paul Butarbutar menyampaikan RUU EBT seharusnya menjadi dasar hukum untuk memaksimalkan investasi di bidang energi baru dan terbarukan.
Dengan begitu, upaya untuk merealisasikan net zero emission di tahun 2060 bisa tercapai secepatnya.
Di samping itu, Paul menyampaikan bahwa pemerintah dapat memprioritaskan revisi UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, ketimbang memasukannya dalam RUU tersebut.
Hal ini dilakukan untuk mendorong pemanfaatan energi nuklir agar lebih optimal.
“Apabila pemerintah ingin mendorong pemanfaatan nuklir untuk pembangkitan, maka sebaiknya pemerintah memprioritaskan revisi UU 10 tahun 1997, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar hukum yang kuat untuk investasi PLTN," pungkasnya.
Baca juga: Greenpeace Soroti Rencana PLN Membangun Pembangkit Listrik Batu Bara
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.