Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mentan Klaim Food Estate Berhasil 100 Persen, Walhi: Stop Abaikan Petani dan Lingkungan Hidup

Kompas.com - 17/04/2022, 15:03 WIB
Ellyvon Pranita,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

 

2. Walhi Sumatera Utara

Roy Lumban Gaol dari Walhi Sumatera Utara menyampaikan, bahwa klaim program food estate di Sumatera Utara tak sepenuhnya adalah kebaikan untuk masyarakat di sana.

“Program Food Estate Karpet Merah bagi koorporasi untuk penguasaan lahan dan sumber daya alam bahwa 1500 Ha (hektare) lahan pembukaan saat ini nyatanya dibagi-bagi kepada korporasi, masyarakat petani hanya sebagai buruh,” kata Roy dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Jumat (15/4/2022).

Ia menambahkan, program pembukaan lahan tersebut justru membuat dampak jangka panjang terhadap potensi menghilangkan keberadaan sumber mata air dan hutan Kemenyan.

Baca juga: Perubahan Iklim, Harga Pangan Cetak Rekor Tertinggi 10 Tahun Terakhir

Padahal, hutan Kemenyan merupakan komoditi lokal yang dikelola secara turun temurun oleh masyarakat lokal.

“Stop Food Estate di Sumatera Utara, kembalikan kedaulatan pangan kepada petani bukan penguasaan koorporasi,” jelasnya.

Rencana food estate ini jelas akan mengabaikan para petani, komunitas masyarakat adat dan lokal sebagai subyek produsen pangan.

Konsepsi food estate sebagai pangan skala luas, tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga pada hak masyarakat adat.

Pada kasus di Sumatera Utara, terdapat 15000 hektar pembukaan lahan berada di kawasan hutan, pembagian tersebut terdiri dari: Dirjen Holtikultura 200 Ha (Sudah Beroperasi), Balitbang Pertenian 15 Ha (Sudah Beroperasi), PT. Indofood 200 Ha (Sudah Beroperasi), serta PT. Indofood 200 Ha (Sudah Beroperasi).

Selain itu ada PT. Champ 250 Ha (Sudah Beroperasi), PT. Calbee Wings 200 Ha (Sudah Beroperasi), 4 Perusahaan Swasta 225 Ha (Sudah beroperasi), PT. DEL 500 Ha (Sudah beroperasi).

3. Walhi Nusa Tenggara Timur

Klaim Mentan itu juga ditanggapi oleh Direktur Walhi NTT, Umbu Wulang Tanaamah Paranggi. Umbu mengatakan, klaim menteri pertanian itu menyesatkan dalam beberapa konteks.

Konteks pertama yang disebutkan Umbu adalah soal keberpihakan pada petani miskin.

Klaim 5000 hektar yang dimaksud oleh Menteri Pertanian itu adalah kawasan food estate di Sumba Tengah.

Tagline dari food estate di Sumba Tengah adalah mengurangi kemiskinan.

Sementara dalam laporan masyarakat yang diterima Wahli NTT, Umbu menyampaikan bahwa kepemilikan lahan di kawasan food estate itu diduga justru didominasi para pejabat daerah dan kalangan menengah ke atas secara ekonomi, dan masyarakat petani kecil justru mendapat bagian paling sedikit.

Kebanyakan dari para petani kecil ini karena ketidakberdayaan ekonomi, sudah menggadaikan lahannya sebelum program food estate dicanangkan di kawasan tersebut.

Kondisi ini bagi Walhi NTT justru paradoks dengan klaim keberhasilan Menteri Pertanian.

“Menteri Pertanian seharusnya ketika klaim keberhasilan, jangan bicarakan aspek produksi pangannya yang sebenarnya juga bermasalah di lapangan,” kata dia.

Kawasan food estate juga bersinggungan dengan hutan adat Pandumaan Sipituhuta seluas kurang lebih 2.042 hektar, pada kawasan food estate di NNT subyek produsen pangan juga bukan petani kecil.

“Tapi berani tidak Menteri Pertanian buka data ke publik, berapa jumlah petani miskin yang punya lahan di kawasan tersebut. Berani juga tidak buka data tentang tata kuasa lahan di kawasan food estate tersebut. Termasuk berapa persen kontribusi food estate pada pengurangan kemiskinan di Sumba Tengah,” tambahnya.

Umbu menambahkan, angka kemiskinan di Sumba Tengah mencapai 34,27 persen dari total penduduk.

Walhi menilai, bahwa dalam konteks keberpihakan pada petani kecil dan marginal, proyek food estate di Sumba Tengah gagal.

Hal ini ditambah dengan masih munculnya konflik agraria antara masyarakat dan pemerintah daerah pada tahun 2021

Konteks kedua yang juga disoroti oleh Walhi NTT yaitu daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Pemerintah berencana untuk menambah Kawasan Food Estate menjadi 20 ribu hektar dengan mengedepankan embung dan sumur bor sebagai sumber pengairan.

Walhi NTT memperingatkan bahwa hal ini akan membahayakan ke depannya, karena kekeringan luar biasa akan melanda apabila pemaksaan penggunaan air tanah dilakukan terus menerus.

Untuk kawasan Food Estate yang luasannya 5000 hektar saja, menggunakan air tanah mencapai 88 persen untuk pengairannya di sana.

“Ini membuktikan, bahwa tidak ada kajian daya dukung dan daya tampung lingkungan dalam proyek ini. Masa daerah yang memiliki air permukaan sangat kecil dipaksakan dengan proyek food estate yang massif,” kata dia.

“Ini berbahaya untuk ketersediaan air tanah. Tahun lalu saja, embung mengering dan kesulitan dapatkan air tanah,” tegasnya.

Walhi NTT dalam hal ini meminta Menteri Pertanian untuk menghentikan proyek food estate tersebut dan mengedepankan pertanian yang ramah lingkungan dan berkeadilan.

Baca juga: Jamur Pangan sebagai Sumber Protein Pengganti Daging, Solusi Kenaikan Harga Daging

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com