Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anak Kelahiran 2020 Terancam Hadapi Gelombang Panas 6,8 Kali Lebih Banyak

Kompas.com - 31/10/2021, 19:01 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

KOMPAS.com - Krisis iklim tak hanya memengaruhi lingkungan dan cuaca sekitar kita, tapi juga berpengaruh besar kepada anak-anak.

Menurut studi terbaru yang terbit di jurnal Science edisi 26 September 2021 yang berjudul Intergenerational inequities in exposure to climate extremes, secara global anak-anak yang lahir setahun terakhir (2020) akan menghadapi sekitar 6,8 kali lebih banyak gelombang panas selama hidup mereka dibanding mereka yang lahir di tahun 1960.

Studi ini dilakukan oleh Save the Children bekerja sama dengan tim peneliti iklim internasional yang dipimpin oleh Vrije Universiteit Brussel (VUB).

Oleh sebab itu, menjelang pertemuan Conference of the Parties (COP) ke-26 (kemudian disebut COP26), Save the Children mengingatkan bahwa anak-anak adalah kelompok paling terdampak dari krisis iklim.

Untuk diketahui, COP26 akan membahas tentang perubahan iklim. Pertemuan ini akan dihadiri para pemimpin dunia termasuk Presiden Joko Widodo pada Senin (1/11/2021) hingga Selasa (2/11/2021).

Baca juga: Surat Terbuka Masyarakat Sipil Peduli Iklim untuk Presiden Jokowi Jelang COP26

Dampak krisis iklim lainnya yang dihadapi anak

Selain menghadapi gelombang panas yang lebih banyak, laporan ini juga memprediksi 4 dampak lain yang berpotensi dihadapi anak-anak di masa depan, yakni:

1. Banjir

Selain menghadapi gelombang panas yang lebih banyak, laporan ini juga memprediksi anak kelahiran 2020 di kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia, berisiko mengalami banjir tiga kali lebih banyak dibandingkan generasi kakek nenek mereka atau orang-orang kelahiran 1960.

Secara global, kenaikan rata-rata ancaman banjir karena luapan sungai adalah 2,8 kali lebih banyak.

Risiko tertinggi dihadapi anak kelahiran 2020 di Timur Tengah dan Afrika Utara, yaitu 4,5 kali lebih banyak.

2. Kekeringan

Kemudian dampak kekeringan yang dialami anak kelahiran 2020 di Asia Pasifik dan Asia Timur adalah 2,5 kali lebih banyak dibanding kelahiran tahun 1960.

Rara-rata global risiko kekeringan adalah 2,8 kali lebih banyak. Risiko tertinggi dialami anak-anak yang tinggal di Afrika Utara dan Timur Tengah, yaitu 4,4 kali lebih banyak.

 

Warga memanfaatkan sisa air di Sungai Cibarusah, Kampung Ciketung, Desa Sirnajati, Kecamatan Cibarusah, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat untuk keperluan mandi dan mencuci, Minggu (16/8/2015). Warga mengaku kesulitan mendapatkan air bersih sejak tiga bulan terakhir karena sumur dan sungai mereka mengering akibat kemarau. KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMOKRISTIANTO PURNOMO Warga memanfaatkan sisa air di Sungai Cibarusah, Kampung Ciketung, Desa Sirnajati, Kecamatan Cibarusah, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat untuk keperluan mandi dan mencuci, Minggu (16/8/2015). Warga mengaku kesulitan mendapatkan air bersih sejak tiga bulan terakhir karena sumur dan sungai mereka mengering akibat kemarau. KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO

3. Gagal panen

Risiko gagal panen akibat krisis iklim juga lebih mungkin dialami anak-anak kelahiran 2020 dibandingkan generasi kelahiran 1960.

Di Asia Pasifik dan Asia Timur, risikonya 1,8 kali lebih banyak dialami anak-anak ini sepanjang hidupnya.

Sementara risiko rata-rata global adalah 2,8 kali lebih tinggi. Risiko tertinggi juga dialami Afrika Utara dan Timur Tengah, yakni 4,4 kali lebih mungkin merasakan gagal panen.

4. Kebakaran hutan

Ancaman kebakaran hutan juga diprediksi lebih banyak dialami anak-anak kelahiran 2020 dibanding generasi kelahiran 1960.

Secara global, rata-rata risiko kebakaran hutan 2 kali lebih tinggi. Risiko tertinggi kemungkinan besar dialami anak-anak yang tinggal di Eropa dan Rusia Tengah, yakni 1,7 kali lebih banyak.

Sementara di kawasan Asia Timur dan Asia Pasifik, ancamannya 1,5 kali lebih banyak.

Dalam keterangan pers yang diterima Kompas.com, Sabtu (30/10/2021), CEO Save the Children Indonesia Selina Patta Sumbung mengatakan, dampak krisis iklim ini akan dirasakan lebih bruuk pada anak-anak yang hidup dalam lingkaran kemiskinan.

"Karena mereka sudah lebih dulu terpapar risiko yang jauh lebih besar seperti keterbatasan air, kelaparan, dan bahkan terancam menghadapi kematian karena kekurangan gizi,” ungkap Selina.

Tak hanya itu, dampak krisis iklim secara tidak langsung membuat jutaan anak dan keluarga masuk dalam kemiskinan jangka Panjang.

Selena memaparkan, anak-anak di Indonesia akan menjadi salah satu yang terkena dampak terburuk dari krisis iklim ini.

"Sebab itu, tanpa tindakan yang segera, kita akan menyerahkan masa depan yang suram dan mematikan pada anak-anak kita," sambungnya.

Save the Children berharap laporan tersebut mampu menyerukan tindakan dan aksi yang harus dilakukan segera untuk melindungi hak anak.

Dalam proyeksi mereka, masih ada waktu untuk mengubah prediksi masa depan yang suram ini.

Jika kenaikan suhu dijaga hingga maksimum 1,5 derajat Celsius, maka risiko-risiko di atas akan menurun, yakni:

  • Potensi gelombang panas berkurang 45 persen
  • Potensi banjir karena luapan sungai berkurang 38 persen
  • Kekeringan berkurang 39 persen
  • Gagal panen berkurang 28 persen
  • Kebakaran hutan berkurang sekitar 10 persen

Baca juga: 5 Pesan Komunitas Peduli Iklim untuk Jokowi Sebelum Hadiri COP26

Rekomendasi Save the Children

Save the Children Indonesia melalui rilisnya merekomendasikan beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi ancaman perubahan iklim tersebut, di antaranya:

  1. Mulai menghapus ketergantungan pada bahan bakar fosil,
  2. Memulai gaya hidup ramah lingkungan
  3. Berpartisipasi aktif dalam aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim

"Pemerintah juga harus mengembangkan tata kelola mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang inklusif dengan memperhatikan kebutuhan kelompok rentan seperti anak-anak melalui kebijakan, program, dan penganggaran yang berpihak kepada anak," pungkas dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com