Oleh: Auliya S. Suwantika
PANDEMI Covid-19 yang telah melanda dunia lebih dari setahun terakhir membuat imunisasi dasar rutin untuk anak usia 12-23 bulan di Indonesia semakin sulit dilaksanakan.
Sebelum pandemi, secara nasional cakupan imunisasi dasar (vaksin hepatitis B, polio, campak, BCG dan pentavalen (DPT-HB-Hib)) untuk anak usia tersebut hanya mencapai 57,9%, jauh dari target 93%.
Riset pemodelan yang saya dan kolega lakukan menunjukkan pandemi ini berpotensi menurunkan persentase cakupan imunisasi dasar rutin dibandingkan sebelum pandemi.
Dalam skenario yang paling moderat, jika cakupan turun 5% saja, maka cakupannya hanya 53,4% untuk seluruh Indonesia. Bila penurunannya sampai 20%, maka cakupan vaksinasi nasional hanya 43%.
Baca juga: Jangan Salah, Ini Perbedaan Vaksinasi dan Imunisasi
Penurunan cakupan imunisasi di Pulau Jawa, sebagai episentrum pandemi Covid-19 dan populasi terpadat, lebih tinggi dibandingkan luar Jawa.
Penurunan cakupan vaksinasi ini sangat berbahaya karena akan mengurangi daya kebal di masyarakat dalam upaya mencegah penyebaran berbagai menular di kalangan anak-anak dan orang dewasa.
Tanpa ada perubahan perilaku masyarakat, kebijakan pemerintah pusat dan daerah dan peningkatan pembiayaan, maka sulit cakupan imunisasi itu naik.
Di Indonesia, semua anak mendapat layanan imunisasi rutin di fasilitas kesehatan umum secara gratis. Bagi anak yang belum memasuki usia sekolah, imunisasi dilaksanakan di Puskesmas dan Posyandu. Sedangkan anak-anak sekolah, kelas 1, 2 dan 5, menerima vaksin imunisasi campak, difteri, dan tetanus, di sekolah.
Dalam situasi pandemi, penutupan sebagian layanan Posyandu dan pembatasan layanan Puskesmas berpotensi mengurangi cakupan imunisasi rutin untuk anak di bawah 2 tahun. Para orang tua juga khawatir pergi ke pusat layanan kesehatan untuk memvaksin anaknya karena takut terinfeksi Covid-19.
Keraguan terhadap vaksin juga menjadi hambatan yang dapat menurunkan cakupan vaksinasi dasar.
Selain hal itu, keberhasilan imunisasi bergantung juga pada kondisi lokasi setempat. Program imunisasi di kota lebih berhasil karena memiliki layanan dan infrastruktur kesehatan yang lebih baik dibanding desa.
Baca juga: 4 Mitos Seputar Imunisasi, Sebabkan Demam hingga Autisme
Meski mayoritas penduduk tinggal di daerah perkotaan, 63% dari semua anak yang tidak divaksinasi tinggal di daerah pedesaan. Hal ini menimbulkan tantangan khusus, yaitu tantangan geografis, logistik serta prioritas pemerintah daerah.
Dalam sistem pemerintahan desentralisasi, pemerintah kabupaten bertanggung jawab atas biaya operasional fasilitas, insentif tenaga kesehatan, rantai dingin penyimpan vaksin, dan kegiatan pendukung lainnya.
Namun pemerintah daerah masih belum menunjukkan komitmen tinggi untuk melakukan perencanaan program imunisasi yang komprehensif serta implementasinya.