Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tren Diet Semakin Gencar Dilakukan Remaja demi Citra Tubuh Ideal

Kompas.com - 25/11/2020, 11:05 WIB
Dinda Zavira Oktavia ,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

Para peneliti menemukan bahwa pada 2015, masing-masing 44% dan 60% dari semua peserta telah berdiet atau berolahraga untuk menurunkan berat badan, dibandingkan dengan 38% dan 7% pada 1986.

Para peneliti mengatakan, bukti lain menunjukkan keterlibatan dalam aktivitas fisik yang kuat tetap relatif stabil di kalangan remaja selama beberapa dekade terakhir.

Pada saat ini lebih banyak remaja tampaknya berpikir tentang olahraga, terutama sebagai cara untuk menurunkan berat badan daripada berolahraga untuk bersenang-senang, bersosialisasi dan merasa sehat.

Sehingga, jika dibandingkan hal ini tentu memiliki alasan yang berbeda dari sebelumnya. 

"Kami menduga bahwa seruan kontroversial baru-baru ini untuk menambahkan label 'setara olahraga' pada kemasan makanan dapat memperburuk hal ini," tutur Penulis senior Dr Praveetha Patalay (Center for Longitudinal Studies and MRC Unit for Lifelong Health & Aging, UCL).

Baca juga: Sudah Diet tapi Berat Badan Tak Turun? 5 Hal Ini Bisa Jadi Penyebabnya

Sementara anak perempuan secara konsisten lebih cenderung diet untuk menurunkan berat badan, para peneliti menemukan peningkatan yang lebih besar selama bertahun-tahun pada anak laki-laki, yang juga menjadi lebih mungkin untuk mencoba menambah berat badan.

Dr Patalay mengatakan, bahwa tekanan sosial bagi anak perempuan untuk menjadi kurus telah ada selama beberapa dekade, tetapi tekanan citra tubuh pada anak laki-laki mungkin menjadi tren yang lebih baru.

Temuan ini telah digarisbawahi, ada dampak tekanan sosial dan pesan kesehatan masyarakat seputar berat badan yang dapat berdampak pada kesehatan anak-anak, perilaku, citra tubuh, dan kesehatan mental. 

Baca juga: Daftar Buah-buahan Terbaik dan Terburuk Saat Diet Turunkan Berat Badan

Baik anak perempuan maupun laki-laki juga menjadi lebih mungkin untuk memperkirakan berat badan mereka secara berlebihan dari tahun 1986 hingga 2005.

Terlebih lagi pada tahun 2015, yang mana menurut para peneliti menambah kekhawatiran mereka, bahwa peningkatan upaya untuk menurunkan berat badan tidak selalu disebabkan oleh peningkatan level obesitas.

Perilaku terkait berat badan yang dilaporkan dan kesalahan persepsi berat badan dikaitkan dengan gejala depresi, dan di antara anak perempuan, hubungan ini menjadi lebih kuat selama tiga dekade yang diteliti dalam penelitian ini.

Temuan ini mungkin bisa menjadi bagian dari penjelasan, untuk peningkatan gejala depresi remaja yang telah diamati dalam beberapa dekade terakhir.

"Penggambaran media tentang tubuh yang kurus, kebangkitan industri kebugaran, dan munculnya media sosial semuanya dapat menjelaskan sebagian hasil kami," kata Dr Solmi.

"Pesan kesehatan masyarakat seputar pembatasan kalori dan olahraga, mungkin juga menyebabkan kerusakan yang tidak diinginkan," lanjutnya.

Kampanye kesehatan masyarakat seputar obesitas harus memertimbangkan efek kesehatan mental yang merugikan, dan memastikan mereka menghindari stigma berat badan.

Dengan mempromosikan kesehatan dan kesejahteraan, alih-alih berfokus pada 'berat badan yang sehat', mereka dapat memiliki efek positif pada kesehatan mental dan fisik.

Baca juga: Minuman Manis Kepung Remaja Indonesia, Saatnya Ada Cukai Gula

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com