Selain spiritual dan emosional, puasa juga dapat memacu kercerdasan pikiran dan kecerdasan intelektual para pelaku puasa.
Hasil penelitian yang dilakukan American College of Cardiology di New Orleans menunjukkan bahwa puasa dapat memicu kenaikan hormon pertumbuhan yang berkoheresi dengan kecerdasan pikiran anak.
Kecerdasan pikiran yang menjadi target Ramadhan tidak sekadar peningkatan kualitas daya ingat, akan tetapi mencerdaskan pikiran kita masuk pada energi dan atmosfer positif.
Berapa banyak orang yang biasa kita mempunyai kualifikasi intelektual yang baik akan tetapi terasa “bodoh” dengan melakukan hal-hal yang membawa mudarat bagi dirinya, anak, keluarga, dan bahkan lebih luas lagi masyarakat .
Pertanyaanya, apakah dia bodoh dalam pengertian tidak tahu?
Bukan. Tapi kecerdasannya mati atau terhenti karena diawal hatinya terganggu.
Tanda-tanda kecerdasan pikiran kita masuk dalam pikiran yang salah “wrong thinking” menuju fase kebodohan, maka kita dapat merasakannya sendiri saat pikiran kita selalu memulai reaksinya dari sisi negatif.
Maka melihat orang lain kita akan melihat sisi buruknya. Mendengarkan orang lain maka kepala kita terarah pada sisi negatifnya dan jika bicara akan kita mulai dengan analisis negatif, dan menutup sesuatu hal selalu akan ditutup dengan value negatif.
Ramadhan mengempang itu, menyelamatkan kita dari keberlanjutan suasana buruk itu untuk kembali fresh sehingga kita akan berada pada posisi seimbang sebagai makhluk Tuhan dan sebagai khalifah di bumi.
Kesempatan ramadhan ini adalah kesempatan belajar dan latihan menuju titik keseimbangan sebagai makhluk Tuhan dan sebagai khalifah.
Belajar secara kolektif agar kecerdasan kita akan terus tumbuh dan berkualitas, berlatih sebagai makhluk dan khalifah agar kelak kita menjadi amanah dalam keseimbangan perjalanannya.
Dalam Islam, korelasi antara hablumminallah dan hablumminanas menjadi hubungan setali mata uang. Maka teks perintah hubungan vertikal antara hamba dengan Tuhan selalu diikuti dengan teks kemanusiaan dan hubungan sosial.
Teks itu jika kita dalami dijelaskan melalui resonansi masuknya bulan mulia yakni bulan Ramadhan. Bahkan kita sudah bisa merasakan suasana ke Ramadhan-an di penghujung sya’ban. Bahkan suasana alam pun menjelaskan syahdunya kedatangan Ramadhan.
Kemaslahatan umat dan manusia menjadi goal-oriented Ramadhan. Karena perintah melasanakan puasa dibulan Ramadhan akan diakhiri dengan membayar Zakat Fitrah dan diikuti dengan budaya yang lazim di Nusantara dengan tradisi bersalaman dan saling memaafkan.
Sebuah tradisi mulia yang harus dijaga terus-menerus sebagai pengikat silahturahmi yang kuat dan mengandung nilai ibadah yang tinggi.
Kemaslahatan itu jika kita petik dari terminologi Pancasila mengandung nilai sila ketiga dan kelima yang sumber utamanya adalah sila pertama, yakni ketuhanan yang Maha Esa.
Sebagai bukti konkret bahwa Ramadhan yang ditiupkan di dalam diri kita sikap wara', jujur, dan kedermawanan serta menjadikan ketenangan hati, kecerdasan pikiran dan kemaslahatan target dan sasarannya.
Semuanya adalah bagian dari kolektivitas sikap para muttaqin. Itulah yang menjadi sebab puasa itu menjadi penilaian subyektif langsung Allah SWT, “as-shaumu li wa ana ajzi bihi".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.