PUASA Ramadhan merupakan sarana bagi manusia untuk meneguhkan kembali spiritualitas menuju jati diri dan jiwa yang murni (fitrah). Membawa kembali ke alam spiritual, sehingga terjadi transformasi dalam diri menuju ke arah yang lebih baik.
Tahap spiritualitas puasa akan dicapai melalui disiplin diri yang ketat selama sebulan penuh. Ramadhan menjadi 'kawah candradimuka' bagi umat beriman menuju pada cita-cita takwa (muttaqiin).
Secara reflektif-filosofis, ibadah puasa menjadi madrasah dan pemantik dalam membumikan kembali kedaban, terutama keadaban publik.
Prinispnya, Jika ibadah puasa dijalankan atas dasar kesungguhan hati bukan berdasar paksaan (rekayasa sosial), nilai-nilai religiusitasnya mampu menuntun manusia untuk melangkah menuju pada puncak penghayatan nilai-nilai kemanusiaan dan meningkatkan setiap aspek kebaikan.
Pada tahap inilah manusia berada pada fase penyucian diri. Di sinilah puasa Ramadhan secara intensif akan melahirkan mozaik perilaku yang berkeadaban utama.
Puasa tahun ini harus benar-benar menjadi madarasah yang berharga untuk mewujudkan keadaban publik, yang semakin hari semakin terkikis dan memudar.
Keadaban publik akhir-akhir ini mulai memudar kita rasakan dan menggerogoti multidimensi kehidupan bangsa, mulai dari politik, ekonomi dan keuangan, sosial budaya, hukum, dan bahkan agama sekalipun.
Memudarnya keadaban publik dapat dijumpai dengan mudah. Tak terlalu sulit menemukan pelanggaran keadaban publik, bahkan sering terlihat dengan kasat mata pada berbagai kasus anarkisme verbal maupun fisik (perundungan, perisakan), persekusi oleh sekelompok orang terhadap kelompok lain, adanya kriminalisasi lawan politik, hingga terjadinya perampokan atau begal di berbagai tempat di jalan raya.
Bahkan, ketidaksopanan telah mencengkram ruang publik di media sosial mapun di ruang dialog televisi dengan saling hujat, cercaan pribadi, dan kurang substansi, masyarakat lebih mengedepankan perasaan paranoid (mencurigakan) kepada orang lain.
Sifat mudah curiga dapat menyebabkan perilaku destruktif apabila yang diyakininya dengan mudah dinisbikan pihak lain. Kemudian nilai-nilai adab semakian hari semakin tercerabut dari akar budaya politik yang telah diajarkan oleh para guru bangsa.
Kita harus menyadari, mulai dari lapisan elit hingga masyarakat, degradasi moral dan sifat serta sikap yang tidak beradab menjadi parasit dan bahaya laten yang siap meledak kapan saja.
Maka keadaban publik yang merupakan kristalisasi dari akhlak dan nilai-nilai di luhur bangsa Indonesia, seperti sopan santun, rukun dan saling menolong, saling mengunjungi, serta hidup baik dengan tetangga dan memahami orang lain sebagai bagian integral dari diri sendiri menjadi bintang penuntut kembali merajut kebangasaan yang sempat terkoyakkan dengan berbagai perilaku yang jauh dari beradab.