Oleh Nur Elya Anggraini*
RAMADHAN di kala pandemi harus kita jalani. Di tengah situasi yang serba sulit, perempuan adalah kelompok rentan.
Tantangan yang dihadapi ganda. Satu sisi rentan tertular oleh Covid-19, di sisi lain juga terancam menjadi sasaran bantuan paket sembako yang dipolitisasi untuk kepentingan politik jelang pilkada. Bagaimana kita menyikapinya?
Di saat kita harus berada di rumah dan hanya situasi mendesak saja untuk keluar, maka di saat ramadhan, barangkali tiap hari kaum ibu yang paling banyak ke luar rumah untuk belanja demi kepentingan berbuka puasa.
Setiap sore hari, kita akan melihat kelompok perempuan ke pasar dan dengan terpaksa harus melakukan transaksi ekonomi. Sementara kita tidak pernah tahu riwayat perjumpaan setiap orang yang ditemui.
Baca juga: Hikmah Ramadhan: Al-Quran, Dzikir, dan Tajali
Sungguh susah menerapkan social distancing untuk pasar tradisional yang berdesak-desakan. Di sinilah ada potensi tertular Covid-19 semakin terbuka untuk perempuan.
Pasar adalah satu klaster penyebaran Covid-19. Sebagaimana yang terjadi pada Pasar PPI di Jalan Jepara, Krembangan, Kota Surabaya, Jawa Timur, dengan ditemukan sekitar 30 kasus positif Covid-19.
Ini tentu harus menjadi catatan kita bersama, bahwa aktivitas kelompok perempuan cukup rentan terinfeksi virus.
Sementara di sisi lain, solidaritas kebangsaan kita diuji. Kita bersyukur banyak kelompok masyarakat yang menggalang dana untuk membantu yang terdampak. Pembagian masker, hand sanitizer, dan paket sembako.
Namun selalu saja ada yang curi kesempatan dan cari untung. Ada oknum calon peserta pilkada yang menggunakan bantuan sembako disertai dengan gambar wajahnya. Ini memprihatinkan dan menjadi polusi dalam demokrasi.
Baca juga: Hikmah Ramadhan: Ramadhan Bukan Sekadar Puasa Umum?
Perempuan lagi-lagi jadi sasaran untuk dimasuki. Bagi perempuan, bantuan kemanusiaan jadi buah simalakama.
Diterima jadi beban, mau menolak juga ekonomi sedang tumbang. Dapur butuh mengepul di saat pemasukan tidak menentu. Kesucian ramadhan harus dikotori oleh aksi tidak simpatik karena politik.
Dalam logika anggaran, bantuan untuk Covid-19 sebenarnya diambil dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapat Belanja Daerah (APBD). Dalam pelajaran dasar tentang demokrasi, bahwa setiap anggaran negara didapat dari pajak rakyat.
Artinya, semua bantuan untuk rakyat terdampak Covid-19 sebenarnya juga berasal dari uang rakyat sendiri. Hanya saja dikelola oleh pemerintah untuk disalurkan kepada yang paling berhak.
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, pernah berkomentar bahwa bantuan kemanusiaan yang dipolitisasi sebagai bentuk kampanye dikarenakan mentalitas elite yang buruk sehingga membuka peluang untuk menyimpang.