Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Disebut Punya Tata Ruang Terburuk Se-Dunia, Jakarta Harus Revisi RTRW

Kompas.com - 23/08/2021, 20:30 WIB
Masya Famely Ruhulessin,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Jakarta, Ibu Kota Negara Indonesia, telah berusia 494 tahun. Menjadi jantung dari aktivitas negara, tentu sarat dengan pembangunan fisik.

Gedung-gedung tinggi nan-megah, jalan-jalan bertingkat, serta kerlap-kerlip lampu pada malam hari telah menyulap  Jakarta sebagai kota metropolitan yang menawan sekaligus membius.

Jakarta adalah impian banyak warga desa untuk mencari peruntungan. Migrasi urban pun bukan lagi ritual tahunan pasca-Lebaran, melainkan setiap hari.

Belum lagi para pelaju yang bergegas memburu mimpi sejak subuh hingga mentari bersemayam. Mereka berasal dan bermukim di Bekasi, Bogor, Tangerang, dan Depok.

Baca juga: Kalah dari Singapura dan Malaysia, Indeks Keamanan Jakarta di Posisi 43

Hingga kini, populasi yang memadati kota dengan nama lain Batavia, ini mencapai 10 juta jiwa pada malam hari, dan lebih dari 12 juta jiwa pada siang hari.

Padatnya Jakarta, menimbulkan masalah. Polusi, kemacetan, banjir, hingga pemukiman kumuh dan sesak pun tak terelakkan.

Pekan lalu, 50 lapak pemulung di Jalan Kemang Utara Raya RT 011 RW 004, tepatnya dekat Pasar Kambing, Jakarta Selatan, ludes terbakar. Ini adalah pemukiman kumuh padat penduduk. 

Belum lagi masalah banjir yang sudah menjadi makanan tahunan warga Jakarta. Penyebabnya bermacam-macam, mulai dari naiknya air laut hingga meluapnya kali Ciliwung.

Alhasil, sebagian warga mempersepsikan Jakarta sebagai kota yang tidak nyaman ditinggali. 

Berdasarkan Indonesia Most Livable City Index 2017 keluaran Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) di 26 kota, Jakarta menempati peringkat ke-15 dan masuk dalam kategori rata-rata livability city dengan nilai 62,6 persen.

Baca juga: Biden Sebut Jakarta Tenggelam 10 Tahun Lagi, Apa Solusi Pemerintah?

Jakarta kalah jauh bila dibandingkan dengan Solo, yang menduduki peringkat pertama dengan nilai index livability di atas rata-rata yakni 66,9 persen. Bahkan Tanggerang Selatan berada di posisi ke-5. 

Bukan hanya masalah ketidaknyamanan kotanya, dari segi keamanan pun Jakarta terbilang rentan.

The Economist Intelligence Unit (EIU) menempatkan Jakarta di level 43 dalam Safe City Index 2021 di antara 60 kota dunia yang disurvei.

Ada 76 indikator penelitian yang terbagi dalam lima pilar yaitu keamanan digital, keamanan kesehatan, keamanan infrastruktur, keamanan pribadi, serta keamanan lingkungan.

Tak hanya itu, kerentanan Jakarta juga dilihat dari sisi ancaman geologi dan hidro-meteorologi. 

Fitch Solutions Country Risk & Industry Research melaporkan, Jakarta bisa tenggelam pada tahun 2050. Salah satu faktor penyebabnya adalah pembangunan yang masif. 

Melihat seluruh kompleksitas permasalahan ini, tidaklah mengherankan bila Jakarta dicap sebagai kota dengan tata ruang terburuk oleh seorang lulusan planologi India dalam platform bertajuk Re-Thinking The Future.

Sudah advanced

Menurut Ketua Majelis Kode Etik IAP Bernardus Djonoputro, kompleksnya masalah Jakarta adalah karena persoalan penataan kota yang perlu dibenahi.

Ia mengakui berdasarkan perencanaan kota yang diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, Jakarta sudah sangat baik.

Baca juga: Jakarta Diprediksi Tenggelam Tahun 2050, Pemerintah Didesak Tuntaskan Infrastruktur Pengendali Banjir

“Sekarang Jakarta memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Jakarta 2030. Bila dibandingkan dengan kota lain di Indonesia, Jakarta sudah advanced. Namun persoalannya, apakah dalam RTRW itu sudah dijalankan dengan baik,” ujar Bernie kepada Kompas.com, Senin (23/8/2021).

Bernie mencontohkan soal aturan-aturan kepadatan dan ketinggian bangunan serta pengendalian yang belum diikuti dengan baik di lapangan.

Ada juga masalah penyimpangann pembangunan. Misalnya, lahan yang awalnya direncanakan sebagai ruang terbuka hijau bisa berubah menjadi kompleks perumahan dalam perjalanannya. 

“Sekarang, Jakarta sedang melakukan revisi tentang rencana detil tata ruang. Jakarta harus segera lakukan perubahan besar-besaran terhadap detil tata ruangnya terutama dikaitkan dengan perencanaan infrastuktur dasar modern untuk urban transportasi kota,” jelasnya.

Spesifiknya, menurut Bernie, seperti pengembangan MRT Jakarta melalui jalur barat-timur dan kelanjutan jalur utara-selatan sampai dengan Ancol.

Kemudian restrukturisasi fungsi jalan provinsi dan jalan nasional sehingga pola perjalanan masyarakat lebih ke transport publik dari pada personal transport.

Baca juga: Berfungsi Kendalikan Banjir Jakarta, Ini Kabar Terbaru Bendungan Sukamahi dan Ciawi

“Pasca Covid-19 ini kelihatannya Jakarta juga harus merevisi RTRW terkait redefenisi dari kawasan padat penduduk. Ini dilakukan untuk menghadapi masalah di kawasan-kawasan padat,” tambahnya.

Bernie juga menyarankan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk melakukan perubahan rencana mengenai penataan 13 sungai di Jakarta sehingga lebih siaga terhadap bencana.

Kendati demikian, penangaanan sungai sebetulnya bukan di kota Jakarta, karena pemerintah hanya merevitalisasinya.

Namun harus berkoordinasi dengan pemerintah kota Tanggerang, Bekasi, Cianjur dan Bogor agar ada normalisasi di hulu.

Menanggapi kemungkinan Jakarta tenggelam tahun 2050 seperti laporan dari Fitch Solutions Country Risk & Industry Research, Bernie menyarankan dilakukannya pendekatan secara teknikal dan aturan.

“Potensi tenggelamnya sebuah kota dipengaruhi oleh beberapa faktor misanya sea water rise, inundation  (penggenangan) dan pengambilan air tanah besar-besaran di kota sehingga air tanah turun," urainya. 

Baca juga: Kejar Bangkok dan Singapura, RTRW Jakarta Harus Dinamis

Beberapa titik di Jakarta yang memang kritikal, harus segera dibenahi karena memang belum terlihat dalam RTRW Kota Jakarta 2030.

Pemerintah harus segera mengindetifikasi titik-titik rawan tersebut melakukan upaya maksimal unk menajaga dengan pendekatan engginering maupun pendekatan aturan.

"Seperti konsisten terhadap maksimum pemanfaatan ruang di lokasi tersebut maupun aturan-aturan berkaitan dengan pengambilan air tanah," imbuh Bernie.

25 Persen Kampung Kumuh

Hal senada dikatakan Ketua IAP Jakarta Dhani Muttaqin. Dalam menghadapi persoalan Jakarta yang cukup kompleks, Pemprov DKI Jakarta telah melakukan cukup banyak upaya untuk memperbaikinya. 

Contohnya saja implementasi Pasal 29 ayat 2 Undang-undang (UU) Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota.

Meski terus berupaya, Jakarta masih berutang pada proporsi ideal ruang terbuka hijau ini dengan hanya 9-10 persen.

"Tapi saya lihat dalam 5-10 tahun terakhir, ada upaya untuk meningatkan ruang-ruang terbuka melalui pembukaan taman baru baik berupa program-program dari pusat dan daerah. Memang sudah ada progres meski cukup jauh dari target," urai Dhani. 

Baca juga: Tahun 2030, Tak Ada Lagi Pemukiman Kumuh di Perkotaan

Sementara adanya terobosan jalur transportasi massal berupa busway hingga MRT, merupakan langkah mengurai kemacetan dan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. 

Bebicara soal quality of life, Dhani mengakui Jakarta memang sebuah kota global. Namun, di tengah modernitas itu, 50 persen wilayah Jakarta merupakan kampung.

Dari total wilayah kampung ini, 25 persennya adalah kampung kumuh. 

"Nah, penataan kawasan kampung kumuh secara bertahap juga telah dilakukan baik secara aturan maupun pembangunan rumah susun, sedang dalam progres," papar Dhani. 

Sementara untuk menanggulangi masalah banjir, Dhani menyarankan pemerintah mengatur regulasi pengambilan air tanah yang merupakan salah satu penyebab banjir di Jakarta. 

"Ke depanya untuk ekstraksi air tanah harus diatur lebih tertata bahkan kalau mungkin dialarang pada pada area-area yang kritis," imbuh dia.

Di sisi lain sumber air baru di Jakarta masih kurang. Karena itu, pemerintah bisa menyuplai air baku baik itu melalui di waduk Jati Luhur atau waduk Karian Banten tentunya dengan sistem perpipaan yang baik pula.

Melihat begitu kompleksya permasalahan di Jakarta, tentunya warga berharap pemerintah baik Pemprov DKI maupun Pemerintah Pusat bisa mengambil langkah-langkah strategis yang berdampak kepada kepentingan rakyat. 

Tak hanya soal warganya, juga memperhatikan soal daya dukung lingkungan Jakarta dengan pembangunan yang berpihak pada lingkungan. 

Pemerintah tak bisa berjalan sendiri. Tanpa bantuan warganya, usaha mereka akan percuma. Karena itu, warga bisa mulai membantu dengan melakukan hal-hal kecil.

Seperti lebih memperhatikan lingkungan dan mulai beralih untuk menggunakan transportasi publik.  

Dengan begitu, Jakarta akan menjadi lebih layak huni. Semoga. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com