Pilihan dilematis, karena selain menjadi pesaing investor swasta, kebijakan ini bisa mematikan inisiatif diversifikasi instrumen produk pasar modal seperti Kontrak Ivestasi Kolektif (KIK) Dinfra, Sekuritisasi, Reksa Dana Penyertaan Terbatas (RDPT), dan produk pasar modal lainnya.
Atau justru LPI bisa menjadi holder di produk-produk investasi pasar modal tersebut.
Model ketiga dalam penyediaan infrastruktur adalah dengan melibatkan partisipasi swasta yang mengadopsi skema Public-Private Partnership (PPPs).
Model ini terbukti efektif di berbagai negara, Pemerintah menawarkan model ‘gotong royong’ dengan konsep sharing risk berupa Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
Salah satu model KPBU yang sangat popular adalah model konsesi Build-Operate-Transfer (BOT).
Di sini badan usaha bertanggung jawab untuk melakukan rancang bangun dan proses konstruksi suatu proyek infrastruktur, mengoperasikannya, serta mendapatkan pengembalian investasi dan keuntungan yang wajar dari pengenaan tarif kepada masyarakat pengguna selama periode konsesinya.
Pemerintah mencanangkan kontribusi pihak swasta melalui model KPBU ini sebesar 36 persen dari seluruh pembiayaan infrastruktur RJPP 2020-2024, atau setidak-tidaknya 69 persen dari total kebutuhan investasi PSN yang mencapai Rp 4.817 triliun.
Hasil riset doktoral penulis, menyimpulkan bahwa model PPPs atau KPBU di Indonesia belum berjalan efektif karena fenomena 'collaborative inertia'.
Partisipasi swasta mengalami kelembaman yang dipengaruhi oleh dinamika sosial, politis dan ekonomi yang menyertai model bisnis infrastruktur tersebut.
Yang menonjol adalah belum tuntasnya anteseden proyek. Persepsi ini mengampu pada pertanyaan publik: bagaimana postur politik anggaran pemerintah, mengapa harus infrastruktur berbayar, mengapa harus melibatkan swasta, haruskah kelayakan ekonomis mengorbankan nilai publik, dan lain sebagainya.
Distorsi kepentingan pusat dan daerah pada fase perencanaan proyek, serta berbagai upaya penolakan unsur masyarakat terdampak, adalah contoh lain belum tuntasnya anteseden proyek ini.
Diperlukan tata keloka model KPBU (colaborative governance). Tata kelola ini harus memiliki legitimasi kuat dari pemangku kepentingan, menjamin konsensus normatif akan hak, manfaat, dan partisipasi masyarakat, dalam pembangunan infrastruktur secara berkelanjutan.
Termasuk mengatur konteks model KPBU tentang keseimbangan nilai publik dan nilai ekonomis, perancangan model bisnis dan perikatannya, kerangka hukum dan regulasinya, serta berbagai pengaturan konflik endemik kepentingan yang biasa terjadi dalam hubungan multi-organisasi pemerintah dan swasta.
Mengingat pembangunan infrastruktur adalah keputusan politik, unsur utama tata kelola ini adalah leadership yang kuat, berupa pernyataan otoritatif infrastruktur sebagai program utama, politik anggaran yang berpihak kepada infrastruktur dalam postur APBN setiap tahunnya, serta kehadiran Pemerintah dalam perencanaan, pelaksanaan pembangunan, maupun operasionalisasinya.
Kementrian/Lembaga dan Pemerintah Daerah adalah institusi yang diberi mandat konstitusional merencanakan infrastruktur yang diperlukan publik.