BANDUNG, KOMPAS.com - Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), backlog perumahan di Indonesia mencapai 12,7 juta unit pada tahun 2021. Backlog adalah kondisi kesenjangan jumlah rumah terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan masyarakat.
Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Haru Koesmahargyo menjelaskan, pihaknya meyakini permintaan perumahan, terutama untuk rumah subsidi akan masih tinggi pada tahun mendatang.
"Hal ini sejalan dengan komitmen pemerintah yang terus meningkatkan alokasi anggaran subsidi untuk sektor perumahan," ujar Haru dalam acara Media Gathering di Bandung, Kamis (24/11/2022).
Baca juga: Pertumbuhan Kredit Perumahan di Pekanbaru Diyakini Masih Positif
Menurut Haru, semakin banyaknya backlog perumahan maka target program satu juta rumah sudah tidak relevan lagi. Oleh sebab itu, kata dia, perlu target yang lebih besar lagi.
Ia memberi contoh adalah program 10 juta rumah. Dengan demikian, pada tahun 2045, backlog perumahan sudah bisa teratasi.
Lebih lanjut Haru menuturkan, pada tahun 2023 banyak tantangan yang dihadapi perbankan seperti kenaikan suku bunga acuan serta kebijakan restrukturisasi kredit bagi debitur yang terdampak Covid-19 akan berakhir pada Maret 2023.
Kemudian berlakunya berbagai kebijakan terkait dengan GWM, ATMR dan Countercyclical Buffer yang mensyaratkan perbankan untuk memperkuat profitabilitas, permodalan dan kualitas bisnis.
Baca juga: BTN Sosialisasi Tabungan BTN Bisnis, Tak Hanya untuk Pengusaha Perumahan
Untuk menghadapi tantangan tersebut, BTN telah menyiapkan beberapa usulan inisiatif jangka pendek 2023. Usulan tersebut yakni penerapan suku bunga tertentu untuk setiap kelompok desil penghasilan (desil 4-5 adalah 5 persen dan desil 6-8 adalah 7 persen) dan penyesuaian masa subsidi KPR menjadi 10 tahun.
Kemudian, fokus kuota FLPP ke Bank Fokus Perumahan, pemberian subsidi premi asuransi, percepatan kepesertaan Tapera dan Piloting KPR MBR Informal.