Sutcliffe mengaku tidak mengingat keluhan apapun dari Beijing.
"Kami tentu saja mendapat tekanan dari SAR Hong Kong (Daerah Administratif Khusus) untuk melakukan segala yang kami bisa untuk menghentikan tindakan itu," katanya.
"Kami menjalankan kampanye publisitas. Kami menerapkan keamanan yang lebih ketat ketika pertandingan, termasuk penggeledahan dan penyitaan spanduk."
"Tapi kami tidak bisa menghentikannya sama sekali dan hasilnya kami didenda oleh FIFA beberapa kali."
Pada 2020, badan legislatif Hong Kong juga mengambil tindakan dengan mengesahkan undang-undang yang mengkriminalisasi tindakan yang disebut tidak menghormati lagu kebangsaan dengan hukuman penjara maksimal tiga tahun.
Meski begitu, pada laga kandang pertama yang dibuka untuk umum sejak diberlakukannya undang-undang baru pada September 2022, lagu kebangsaan China kembali dicemooh oleh sebagian penonton sebelum kick-off melawan Myanmar.
Tiga bulan kemudian, 83 asosiasi olahraga di Hong Kong diberitahu bahwa mereka harus menambahkan "China" ke nama tim mereka atau berisiko kehilangan anggaran.
Penggemar sepak bola langsung berbondong-bondong membeli kaus terakhir yang masih berlogo Hong Kong, sebelum kata "China" ditambahkan pada lambang naga.
Sutcliffe mencoba tetap menjaga keseimbangan dengan mengakomodasi permintaan China itu sambil menjaga jarak dan identitas yang terpisah.
"Itu semacam aturan tidak tertulis untuk tidak terlalu dekat jika FIFA memutuskan untuk mencabut status anggota," ucapnya.
"Tidak ada pembagian sumber daya atau pengetahuan atau apapun yang bersifat seperti itu."
"Tentu saja, kami memiliki hubungan yang lebih dekat dengan Jepang, yang jauh lebih altruistik dan melihat peran mereka dalam membimbing asosiasi anggota yang lebih kecil serta meningkatkan sepak bola di seluruh Asia."
Tapi perkembangan yang luar biasa dari Liga Super China (CSL) sempat mengancam hubungan tersebut.
Pada awal 2010-an klub-klub papan atas China mulai menghabiskan banyak uang untuk membeli pemain-pemain terkenal dunia seperti Nicolas Anelka, Didier Drogba, Hulk, dan Carlos Tevez.
Sementara pelatih seperti Marcello Lippi, Luiz Felipe Scolari dan Fabio Capello telah didatangkan.
Jumlah penonton meningkat menjadi yang terbesar di Asia dan standarnya juga meningkat.
Guangzhou Evergrande, yang hanya berjarak satu jam perjalanan kereta berkecepatan tinggi dari Hong Kong, menjadi juara Liga Champions Asia pertama dari China pada 2013 dan kembali berjaya pada 2015.
Di Hong Kong, kemungkinan mengirimkan tim untuk berkompetisi di CSL ditingkatkan dengan harapan hal itu akan menambah standar dan pendapatan.
Pada akhirnya keriuhan CSL tidak bertahan lama. Masalah keuangan di sepak bola China, yang diperburuk oleh pandemi global, menyebabkan sejumlah klub berhenti.
Tapi gagasannya tetap hidup.
Baca juga: Dampak Krisis Evergrande di Dunia Sudah Terasa, Swedia Kena Duluan
"Saya yakin itulah arah kami," kata wakil presiden HKFA, Eric Fok Kai-shan pada 2023.
"Semua orang melihat pasar China. Dalam hal sepak bola, kami ingin menjadikannya berkelanjutan dalam cara Anda menghasilkan nilai komersil."