Penulis: Yuchen Li/DW Indonesia
TAIPEI, KOMPAS.com - Pada Senin (20/5/2024), William Lai Ching-te dilantik sebagai presiden Taiwan. Dalam pidato pelantikannya, politisi Partai Progresif Demokratik, DPP itu bersumpah untuk membela demokrasi, sekaligus menuntut China mengakhiri intimidasi militer.
"Dalam menghadapi ancaman dan upaya penyusupan dari China, kita harus menunjukkan tekad bela negara yang tinggi dan meningkatkan kesadaran pertahanan, serta memperkuat kerangka hukum untuk keamanan nasional,” kata sang presiden terpilih.
Beijing mengeklaim Taiwan sebagai wilayahnya sendiri. Di bawah pemerintahan Xi Jinping selama satu dekade terakhir, China mempertebal ambisinya untuk "menyatukan kembali” kedua negeri di Selat Taiwan.
Baca juga: Deretan Konflik China-Taiwan Terbaru
China sebelumnya mencap Lai sebagai seorang "separatis berbahaya.” Beberapa jam setelah pelantikannya pada Senin, Beijing mewanti-wanti betapa "kemerdekaan Taiwan adalah jalan buntu.”
Hasil pemilihan presiden dan parlemen Taiwan pada Januari silam dipandang negatif oleh Beijing, dan dinilai berpotensi semakin mendinginkan relasi diplomasi, kata sejumlah pengamat kepada DW.
Sebelum pemilu, China telah membingkai pemilu di Taiwan sebagai pilihan antara "perang dan perdamaian," serta memperingatkan bahwa pemilihan Lai sebagai presiden akan menjadi ancaman bagi perdamaian regional.
Terlepas dari ancaman Beijing, Lai meraih sekitar 40 persen suara dalam pertarungan segi tiga melawan Hou Yu-ih dari partai oposisi utama Kuomintang, KMT, dan Ko Wen-je dari Partai Rakyat Taiwan, TPP.
"China tidak senang dengan Lai. Sebabnya, hasil pemilu dipandang buruk karena dimenangkan oleh sosok yang justru paling tidak diinginkan," kata Lev Nachman, ilmuwan politik di Universitas Nasional Chengchi Taiwan, kepada DW.
Meski begitu, terpilihnya Lai "membawa hikmah dari sudut pandang China,” kata Nachman. Dia merujuk pada kegagalan Lai untuk membukukan perolehan 50 persen suara, yang berarti "mayoritas masyarakat Taiwan tidak mendukung DPP atau Lai. Hal ini adalah masalah besar."
Pada saat yang sama, pakar lain percaya bahwa kemenangan DPP "sesuai ekspektasi Beijing,” terlepas dari harapan agar kepemimpinan Taiwan berpindah ke partai oposisi yang menyerukan lebih banyak dialog dan pertukaran dengan China.
Chang Wu-ueh, pakar hubungan internasional di Universitas Tamkang, Taiwan, kepada DW mengatakan, sebagian besar pejabat China sudah memperkirakan hasil pemilu dan sedang mempersiapkan respons yang sepadan.
"Langkah-langkah intimidasi militer dan tekanan ekonomi sebelum pemilu kemungkinan besar akan ditingkatkan di masa setelah pemilu,” kata Chang.
Baca juga: Apa yang Terjadi jika China Serang Taiwan?
Taiwan, yang cuma terpaut jarak sekitar 125 kilometer dari China daratan, berpotensi menjadi salah satu titik konflik paling menentukan di dunia. Selama delapan tahun terakhir kekuasaan DPP, dialog resmi antara kedua negara terhenti.
Dengan terpilihnya Lai, Amerika Serikat dan sekutu Barat mengamati dengan cermat bagaimana kebijakan terhadap China dapat mengubah hubungan lintas selat yang sudah meruncing.