KUALA LUMPUR, KOMPAS.com - Parlemen Malaysia telah sepakat untuk mengakhiri praktik "wajib" hukuman mati terhadap 11 kejahatan serius. Apakah aturan ini akan membuat ratusan warga negara Indonesia (WNI) di Malaysia dapat terhindar dari eksekusi mati?
Majelis Rendah Parlemen Malaysia, Senin (3/4/2023), sepakat menghapus hukuman mati sebagai hukuman wajib (mandatory capital punishment) bagi 11 kejahatan serius, seperti pembunuhan, narkotika hingga terorisme.
Tahap selanjutnya, RUU ini kemudian akan dibahas di Majelis Tinggi (Senat) Malaysia untuk kemudian disahkan.
Baca juga: Parlemen Malaysia Loloskan RUU Hapus Hukuman Mati Wajib
Terdapat 34 tindak pidana yang dapat dihukum mati di Malaysia dan 11 di antara kejahatan serius itu wajib divonis mati.
Saat ini, ada lebih dari 50 WNI di Malaysia yang telah divonis hukuman mati dan kini sedang menunggu eksekusi, yang telah dimoratorium sejak 2018, kata Duta Besar (Dubes) Indonesia untuk Malaysia, Hermono.
Selain itu, terdapat lebih dari 100 orang WNI yang tengah menjalani proses persidangan dengan tuntutan hukuman mati.
Dalam wawancara dengan BBC News Indonesia, Dubes Hermono menyambut baik amendemen aturan tersebut.
Dia berharap WNI yang telah dijatuhi maupun tengah dituntut hukuman mati dapat terhindar dari eksekusi, bahkan dibebaskan setelah menjalani hukuman penjara.
Sementara itu, Migrant Care dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) berharap Indonesia dapat menerapkan aturan yang sama, yaitu menghapus hukuman mati.
Di Malaysia, terdapat 34 jenis tindak pidana yang dapat diancam dengan hukuman mati.
Dari jumlah tersebut, 11 kejahatan serius di antaranya wajib dijatuhi hukuman mati, seperti pembunuhan, pemerkosaan terhadap anak yang menyebabkan kematian, pengkhianatan pada negara, hingga terorisme.
Kesepakatan Dewan Rakyat akan dibawa ke Dewan Negara (Majelis Tinggi), yang diperkirakan akan disetujui, lalu dikirim ke raja guna ditandatangani sebagai undang-undang.
Namun, dalam kasus-kasus luar biasa seperti menimbulkan kematian, amendemen tersebut masih memberikan hakim kewenangan untuk menjatuhkan hukuman mati.
Amendemen ini menghapuskan hukuman mati bagi kejahatan serius yang tidak menyebabkan kematian, seperti penculikan, hingga perdagangan senjata.
Sebagai gantinya, hukuman yang dijatuhkan adalah pidana penjara selama 30 hingga 40 tahun, termasuk hukuman cambuk.
Wakil Menteri Hukum, Ramkarpal Singh, mengatakan hukuman mati adalah hukuman yang tidak dapat diubah dan tidak efektif mencegah kejahatan.
“Hukuman mati tidak membawa hasil yang diharapkan,” kata Ramkarpal Singh.
Baca juga: 57 Tahun Ditahan, Iwao Hakamada, Napi Terlama yang Menunggu Hukuman Mati, Akan Sidang Ulang
“Satu-satunya perbedaan adalah bahwa undang-undang baru yang disahkan oleh parlemen kemarin adalah membuatnya (hukuman mati) tidak lagi wajib, misalnya dalam kasus pembunuhan dan perdagangan narkotika,” kata Farida.
“Artinya, tangan-tangan para hakim tidak lagi terikat dalam kasus-kasus seperti itu. Hakim sekarang akan memiliki keleluasaan untuk menjatuhkan hukuman mati atau menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup,” tambah perempuan yang pernah menjadi Duta Besar Malaysia untuk Belanda (2000-2008).
Lebih rinci, Farida menjelaskan, jika aturan ini disahkan maka setiap narapidana yang terjerat hukuman mati--baik warga Malaysia, Indonesia, dan lainnya--diberikan waktu 90 hari untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) ke Pengadilan Federal (tertinggi) Malaysia atas hukuman mereka.
“Pengadilan Federal memiliki diskresi baik tetap memutuskan hukuman mati yang telah dijatuhkan atau juga mengganti ke hukuman penjara.