Di dalam tatanan demokrasi, checks and balances biasanya menjadi pagar kuat yang menghalangi aksi melanggengkan kekuasaan oleh seorang pemimpin terpilih.
Di saat Franklin D. Roosevelt mematahkan tradisi dua periode yang telah dicontohkan George Washington selama puluhan tahun (tanpa aturan tertulis dalam konstitusi), dengan mencalonkan diri sebagai presiden sebanyak empat kali dan berhasil, parlemen Amerika Serikat akhirnya bereaksi dengan mamasukkan masa jabatan presiden hanya sebanyak dua periode ke dalam konstitusi negara Paman Sam.
Kembali ke negara Tirai Bambu, meskipun ada dinamika demokratis di internal PKT (Intraparty democracy), namun kondisi seperti di Amerika Serikat agak susah ditemui di China pasca-Xi Jinping berkuasa dan boleh jadi pasca-ia meninggal nantinya.
Calon pengganti Xi Jinping kemungkinan akan memainkan kartu yang sama untuk tetap berkuasa selama mungkin, apalagi jika ia adalah calon yang disiapkan oleh Xi Jinping sendiri.
Sikap politik Xi Jinping banyak sedikit juga mirip dengan sikap politik Vladimir Putin, memberi pengaruh yang cukup signifikan ke luar negara mereka, seolah-olah memberi pesan kepada dunia bahwa untuk melawan stagnasi dan resesi ekonomi (ketidakpastian dunia) memang membutuhkan kepemimpinan yang benar-benar kuat secara hukum dan politik di satu sisi dan dengan masa jabatan selama mungkin di sisi lain.
Keyakinan semacam itu, banyak sedikitnya juga menjadi justifikasi beberapa pihak di Indonesia untuk menawarkan wacana perpanjangan masa jabatan atau wacana tiga periode untuk presiden Indonesia.
Jika kita kembali ke masa awal Xi Jinping terpilih, pamor Partai Komunis Tiongkok memang sedang melandai, terutama karena faktor korupsi yang sudah sangat menggurita.
Karena itu, Xi Jinping menggelorakan perang terhadap korupsi, yang notabene di sisi lain sebenarnya pembersihan terhadap tokoh-tokoh yang berpeluang menjadi penentang kekuasaan Xi Jinping kemudian hari.
Namun di sisi lain, ekonomi China juga sudah mulai mengalami kontraksi. Pertumbuhan dua digit mulai meredup. Walhasil, Xi Jinping mulai memainkan kartu nasionalisme di pentas global yang tendensinya lebih asertif dan agresif.
China lebih terbuka berseberangan dengan Amerika Serikat, tidak hanya sekadar kata-kata, tapi juga berbentuk aksi nyata dalam menyaingi institusi global liberal asuhan dunia Barat.
Xi Jinping mendorong lahirnya Bank Infrastruktur Asia sebagai tandingan dari Bank Pembangunan Asia.
China lebih terbuka menantang Amerika Serikat di Laut China Selatan, lebih berani merundung negara-negara yang termaktub ke dalam garis Nine Dash Line di Laut China Selatan.
Kemudian lebih brutal dalam membungkam gerakan prodemokrasi di Hong Kong, lebih terbuka memberikan ancaman kepada Taiwan, dan lebih agresif dalam menggunakan instrumen ekonomi untuk tujuan geopolitik.
Karena itu, Papa Xi, begitu frame Xi Jinping di ranah domestik, semakin dielu-elukan, dikultuskan dengan balutan nasionalisme tingkat dewa.
Kartu nasionalisme dan permainan peran di tingkat global memang langkah yang banyak diambil oleh berbagai pemimpin untuk memompa rating approval cq memperpanjang napas kekuasaan di satu sisi dan mengalihkan perhatian publik atas keadaan (ekonomi) domestik di sisi lain.