Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Xi Jinping, Resesi, dan Demokrasi

Kompas.com - 05/12/2022, 05:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Bukan hanya Xi Jinping atau Vladimir Putin atau Recep Tayyip Erdogan, Donald Trump pun berusaha memainkan kartu sejenis.

Ia memompa spirit Americanism dan membuat berbagai terobosan mengagetkan di tingkat global, mulai dari memindahkan ibu kota Israel ke Jerusalem Barat (tepatnya di perbatasan barat dan timur), bertemu dengan Kim Jong Un, membela Vladimir Putin, Viktor Mihaly Orban (PM Hungaria), Joel Bolsonaro (Presiden Brazil), dan mengecilkan NATO.

Namun demikian, tidak dipungkiri bahwa menguatnya suara nasionalisme dan lahirnya pemimpin-pemimpin berhaluan populis (kiri dan kanan), tidak lepas dari memburuknya kondisi ekonomi, baik di ranah domestik maupun di ranah global, sebagaimana pernah disampaikan Benjamin Friedman satu dekade lalu dalam bukunya “Moral Consequences of Economics Growth”.

Resesi dan stagnasi ekonomi cenderung membawa negara ke sisi populisme ekstrem secara ideologis, baik kiri maupun kanan.

Imbas krisis finansial 2008 yang melahirkan Donald Trump, Vladimir Putin (periode kedua), dan Xi Jinping hampir sama dengan imbas Great Depression tahun 1928 di Amerika Serikat yang melahirkan Mussolini di Italia, Hitler di Jerman, atau Hideki Tojo di Jepang.

Perkara awal di Jerman, misalnya, adalah Perjanjian Versailles tahun 1919, yang menghancurkan ekonomi negara itu dan menggerogoti harga diri sebagian besar rakyat Jerman.

John Maynard Keynes mengundurkan diri sebagai utusan Inggris karena tak sepakat dengan usulan-usulan yang keluar dari elite-elite sekutu kala itu.

Kesabaran Keynes tidak terbendung yang akhirnya muntah di dalam sebuah karya emosional tapi tajam berjudul The Economics Consequences of Peace tahun 1919, yang membuat namanya semakin melambung sebagai ekonom kelas dunia, tapi dijauhi oleh elite politik Inggris karena secara terang-terangan mengutuk pemimpin Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat atas perjanjian Versailles.

Pun ketika New Deal di Amerika mulai mengendor, karena FDR memangkas anggaran pekerjaan publik dan beberapa belanja penting andalan proyek New Deal tahun 1937, Great Depression nyaris kembali lagi menerpa ke negeri Paman Sam.

Hampir setengah dari tenaga kerja yang sudah kembali bekerja karena kebijakan New Deal, kembali harus kehilangan pekerjaan.

Keynes mengirim surat kepada FDR dan memintanya kembali ke jalur New Deal dengan anggaran belanja untuk pekerjaan publik, proyek infrastruktur, peningkatan aggregate demand, pengetatan aturan perbankan, dan seterusnya, untuk dimasifkan kembali.

Lebih dari itu, Keynes juga menulis soal eksistensi demokrasi yang sangat bergantung kepada apa yang dilakukan FDR.

Pesan terakhir tersebut, menyentuh langsung hati FDR, yang membuatnya kembali yakin atas misi New Deal yang pernah ia gaungkan beberapa tahun sebelumnya, yakni keyakinan bahwa mengembalikan pengangguran ke dunia kerja bukan hanya sebagai obat untuk pemulihan ekonomi, tapi resep agar rakyat Amerika Serikat tidak tergelincir ke sayap kanan jauh (Hitler) atau ke sayap kiri ekstrem (Stalin).

Setelah itu, di dalam komunikasi langsungnya dengan rakyat Amerika Serikat via Radio, pada acara reguler khusus FDR bertajuk Fireside Chat, ia menekankan kembali kepada pendukung dan pemilihnya bahwa:

“Democracy has disappeared in several other great nations not because the people of those nations disliked democracy, but because they had grown tired of unemployment and insecurity, of seeing their children hungry while they sat helpless in the face of government confusion”.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com