Penulis: Nik Martin/DW Indonesia
BRUSSELS, KOMPAS.com - Seberapa besar ancaman perang saat ini bisa diukur dari lonjakan belanja militer di seluruh dunia. Tahun lalu, jumlahnya mencapai 2,44 triliun dollar AS (Rp 39,18 kuadriliun) atau meningkat sebanyak 7 persen dibandingkan 2022, menurut temuan pusat riset konflik SIPRI.
Kenaikan anggaran pertahanan yang dipicu invasi Rusia di Ukraina merupakan yang tertinggi sejak 2009. Saat itu, belanja militer global mencatatkan kenaikan sebesar enam persen, antara lain didorong mobilisasi militer AS di Afghanistan demi menumpas pemberontakan Taliban.
Perang Ukraina saat ini menjadi beban konflik terbesar bagi negara anggota NATO yang harus menyuplai persenjataan demi menghalau invasi Rusia. Dengan meruncingnya konflik di Timur Tengah dan Asia Pasifik, negara-negara di dunia dipaksa berlomba memperkuat pertahanan.
Baca juga: NATO Minta Sekutu Jamin Bantuan Senjata Jangka Panjang ke Ukraina
Pada 2024, Amerika Serikat mengalokasikan 886 miliar dollar AS (Rp 14,23 kuadriliun) untuk pertahanan, atau naik delapan persen dalam dua tahun terakhir.
Tahun ini, untuk kali pertama, negara anggota NATO diproyeksikan bakal menepati ketentuan anggaran belanja militer sebesar minimal dua persen dari produk domestik bruto (PDB), yang selama ini lamban diimplementasikan.
Pada Februari, Sekretaris Jendral NATO Jens Stoltenberg menyebutkan, kas perang yang disiapkan anggota di Eropa untuk 2024 mencapai 380 miliar dollar AS (Rp 6,1 kuadriliun ).
Ketika Jerman masih meributkan tambahan utang demi dua persen anggaran pertahanan, Polandia sudah menganggarkan 4,2 persen dari produk domestik brutonya, yang tertinggi di antara negara anggota NATO.
Negara lain yang berbatasan lansgung dengan Rusia, seperti di kawasan Baltik, juga sudah atau akan segera menepati target minimal dua persen.
Dorongan menambah belanja militer terjadi ketika perekonomian dunia sedang melesu akibat ketegangan geopolitik, inflasi, dan gangguan rantai suplai. Banyak negara yang secara finansial sudah di ujung tanduk.
"Komitmen jangka pendek demi menyuplai senjata untuk Ukraina harus dibiayar dengan utang tambahan. Begitulah cara pendanaan perang secara historis,” kata Gunther Wolff, peneliti senior di lembaga pemikir Bruegel yang berbasis di Brussels, kepada DW.
"Tetapi untuk peningkatan belanja pertahanan jangka panjang, pemerintah harus menaikkan pajak, atau mengalihkan anggaran dari tempat lain.”
"Apakah prosesnya akan menyakitkan secara politis? Tentu saja! Tetapi jika Anda menyebarkan bebannya ke berbagai kementerian, maka dampaknya akan berkurang," tambah Wolff.
Baca juga: Swedia Akhirnya Gabung NATO
Jerman, misalnya, menghadapi prospek berkurangnya pemasukan pajak sebagai buntut lesunya perekonomian. Namun, kemampuan pemerintah menambah anggaran militer juga terhadang aturan pembatasan utang.
Akibatnya, Jerman memangkas anggaran di berbagai kementerian dan memotong dana bantuan pembangunan internasional sebesar 2 miliar euro (Rp 34,83 triliun) tahun ini.