BAGHDAD, KOMPAS.com - Kedutaan Besar RI (KBRI) di Baghdad akan menyiapkan rencana darurat dan tidak menutup kemungkinan melakukan evakuasi, saat perseteruan politik Irak memanas menjadi konflik bersenjata yang menewaskan sedikitnya 23 orang.
“Jika keadaan terus genting (keamanan Irak), KBRI akan menyiapkan rencana darurat dan tidak menutup kemungkinan evakuasi,” ujar Duta Besar Indonesia di Baghdad Elmar Iwan Lubisdalam keterangan kepada BBC News Indonesia.
Dubes Elmar Iwan Lubis mengatakan pihaknya terus memantau situasi dan saling berkomunikasi dengan sesama perwakilan asing di Baghdad.
Baca juga: Kerusuhan Irak Pecah, 23 Pedemo Ditembak Mati, Negara Asing Tarik Warganya
Menurutnya, ada sebanyak 413 WNI di Baghdad. Namun, data KBRI tersebut diakuinya tidak akurat karena sebagian besar adalah asisten rumah tangga yang masuk secara tidak prosedural dan “mayoritas korban trafficking dari Indonesia”.
“Kondisi WNI sejauh ini dalam keadaan aman dan KBRI telah menghimbau untuk tetap waspada, berada di lokasi masing-masing dan mematuhi jam malam serta menghubungi KBRI jika memerlukan bantuan,” paparnya.
Dia mengamini laporan yang menyebutkan bahwa staf Kedutaan Belanda telah dievakuasi ke gedung Kedutaan Jerman demi keamanan, mengingat konflik berlangsung di Zona Hijau, area yang menampung sejumlah bangunan pemerintah dan kedutaan asing.
Kondisi Baghdad saat ini, kata dia, mulai tenang dan konflik bersenjata telah mereda sejak Selasa (30/8/2022) pagi waktu setempat.
“Saat ini di siang hari tembakan yang makin sporadis sudah sedikit terdengar. Area konflik hanya terjadi di kawasan yang dinamakan sebagai Green Zone (Zona Hijau), sehingga tidak menyebar ke seluruh Baghdad,” papar Dubes Elmar sebagaimana dilansir dari BBC Indonesia.
Baca juga: Iran Tutup Perbatasan Darat ke Irak Setelah Kerusuhan Berdarah Pecah di Baghdad
Kerusuhan berdarah di Iran dipicu oleh keputusan ulama Muslim Syiah, Moqtada Al Sadr, untuk mundur dari kancah politik.
Keputusan tersebut mengemuka dua hari setelah dia menyeru kepada semua partai politik dan sosok, yang terlibat dalam politik Irak menyusul invasi pimpinan AS pada 2003, untuk mundur.
Para politisi pendukung Al Sadr memenangkan kursi terbanyak dalam pemilihan umum Oktober 2021 lalu. Tetapi mereka tidak bisa mencapai kesepakatan untuk membentuk pemerintahan baru dengan blok terbesar kedua, yang sebagian besar terdiri dari partai-partai yang didukung Iran.
Setelah Al Sadr memutuskan mundur dari politik, para anggota milisinya, yang dikenal sebagai Brigade Perdamaian, menyerbu Istana Kepresidenan lalu bentrok dengan pasukan keamanan Irak dan milisi yang bersekutu dengan Iran.
Pemerintah Iran menutup perbatasannya dengan Irak sebagai tanggapan atas kerusuhan tersebut, dan Kuwait mendesak warganya untuk segera meninggalkan negara itu.
Baca juga: Irak Bergejolak, Massa Terobos Zona Hijau dan Menduduki Gedung Parlemen
AFP mewartakan bahwa semua korban tewas adalah pendukung Sadr, sementara sekitar 380 orang lainnya terluka menurut petugas medis Irak.
Seorang juru bicara untuk Sekjen PBB Antonio Guterres mengatakan ia khawatir dengan peristiwa itu dan meminta agar dilakukan "langkah-langkah segera untuk meredakan situasi.
Mustafa Al Kadhimi, perdana menteri sementara Irak, dan sekutu Al Sadr, mengumumkan jam malam nasional setelah kerusuhan menyebar ke beberapa kota lain.
Ia menangguhkan rapat kabinet dan memohon kepada Al Sadr untuk turun tangan dan menghentikan pertempuran.
Saat ini, Al-Sadr telah mengumumkan mogok makan sampai kekerasan berhenti dan penggunaan senjata oleh semua pihak dilakukan.
Moqtada Al Sadr adalah salah satu tokoh Irak, yang paling dikenal dengan sorban hitamnya, mata gelap, dan postur tubuh yang tinggi.
Dia telah memperjuangkan rakyat Irak biasa yang kehidupannya dihantam oleh tingkat yang pengangguran tinggi, pemadaman listrik terus-menerus, dan korupsi.
Baca juga: Serupa di Sri Lanka, Warga Irak Serbu Istana Presiden dan Pesta di Kolam Renang
Pria berusia 48 tahun itu telah menjadi tokoh dominan dalam kehidupan publik dan politik Irak selama dua dekade terakhir.
Milisinya, yang disebut Tentara Mahdi, muncul sebagai salah satu milisi paling kuat yang memerangi AS dan tentara baru Irak setelah invasi 2003, yang menggulingkan mantan penguasa Saddam Hussein.
Ia kemudian mengganti nama milisinya menjadi Brigade Perdamaian, dan mereka tetap menjadi salah satu milisi terbesar di kelompok paramiliter Pasukan Mobilisasi Populer.
Meski Tentara Mahdi pernah punya keterkaitan dengan Iran, Al Sadr belakangan menjauhi Iran dan memposisikan dirinya sebagai seorang nasionalis yang ingin mengakhiri pengaruh AS dan Iran dalam urusan dalam negeri Irak.
Itu pula sebabnya Al Sadr berseberangan dengan blok terbesar kedua di parlemen Irak, yang utamanya beranggotakan partai-partai politik dukungan Iran.