Dalam beberapa tahun terakhir, Pemerintah China telah mencabut batasan jumlah anak yang dapat dimiliki pasangan, memperkenalkan pengurangan pajak dan insentif lainnya.
Beijing juga berupaya mengatasi tingginya biaya membesarkan anak, termasuk dengan, pada dasarnya, menutup industri les privat.
Yi Fuxian, seorang peneliti kebidanan dan ginekologi di University of Wisconsin-Madison, menduga pihak berwenang China kesulitan melakukan peralihan, dari pengaturan kebijakan di mana kehamilan dianggap sebagai beban, ke pengaturan di mana itu merupakan penyumbang kekayaan negara.
Peluncuran kebijakan domestik tidak banyak berpengaruh, kata Yi, karena pasangan tidak ingin memiliki anak, tidak mampu, atau sangat terlambat menikah sehingga mereka merasa tidak mampu.
Baca juga: Pemusnahan Massal Hama di China Era 50-an: Ganggu Populasi, Sebabkan Kelaparan
“Semua kebijakan ekonomi dan sosial telah berputar di sekitar keluarga mainstream dengan hanya satu anak … jadi kaum muda memprotes dengan tidak memiliki anak, dan pemuda Shanghai meneriakkan 'kami adalah generasi terakhir'," kata Yi.
“Hanya setelah menebus setiap kekurangan, tingkat kesuburan dapat ditingkatkan.”
Yi mengatakan, banyak negara Asia Timur sedang berjuang untuk mengatasi penurunan angka kelahiran.
“Di Asia Timur, Jepang adalah negara paling sukses dalam mendorong fertilitas, dan paling dermawan dalam mendorong fertilitas, memberikan insentif tunai, subsidi perumahan, penitipan anak gratis, pendidikan gratis, dan perawatan medis gratis untuk anak di bawah 16 tahun,” katanya.
Namun, dengan biayanya tinggi itu pun, efeknya tidak bagus. Tingkat kesuburan Jepang meningkat dari 1,26 pada 2005 menjadi 1,45 pada tahun 2015, tetapi turun lagi menjadi 1,30 pada tahun 2021.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.