PERDANA Menteri Pakistan itu baru 3,5 tahun memerintah. Namun Majelis Nasional (DPR Pakistan) telah menjatuhkan mosi tidak percaya kepadanya. Imran Khan tidak berhasil memecahkan telur selesainya periode pemerintahan selama lima tahun.
Sejak Paskitan berdiri tahun 1947, tidak ada satu perdana menteri pun yang dapat memerintah selama satu periode penuh. Umumnya berhenti sebelum garis finis karena berbagai sebab.
Pada Pemilu 2018, Imran Khan mendapat 115 suara di DPR. Syarat untuk berhak membentuk pemerintahan adalah 137 suara (50 persen jumlah anggota DPR yang dipilih +1).
Kekurangannya (22 suara) didapat dari partai-partai kecil. Dengan modal suara yang banyak tetapi tidak terlalu besar selisihnya dengan kubu oposisi, Imran Khan pun menjadi Perdana Menteri Pakistan ke-22 (periode 2018-2023).
Baca juga: Pakistan Diambang Kerusuhan Sipil Setelah Penggulingan Imran Khan, Apa yang Terjadi?
Imran Khan mendapat dukungan dari generasi muda, terutama yang berada di perkotaan, termasuk Karachi, kota terbesar Pakistan. Mereka berharap agar Imran Khan yang mantan pemain kriket yang berhasil mengharumkan nama Pakistan di arena olahraga internasional itu juga berhasil mengatasi masalah pokok bangsa seperti pengangguran/kemiskinan, ketidakamanan, korupsi, dan defisit keuangan negara.
Memang hal-hal itulah yang menjadi tema kampanye Imran Khan saat itu, yang membuat partainya, Gerakan Pakistan untuk Keadilan (Pakistan Tehreek-e-Insaf - PTI), mampu mengalahkan dua partai terbesar: Liga Muslim Pakistan (Pakistan Muslim League - PML) dan Partai Rakyat Pakistan (Pakistan People's Party - PPP).
PML didirikan oleh Muhammad Ali Jinnah, proklamator Pakistan pada tahun 1906, sedangkan PPP didirikan oleh Zulfikar Ali Bhutto tahun 1967. Adapun PTI didirikan Imran Khan pada tahun 1996.
Kemenangan PTI dalam Pemilu 2018 itu merupakan amanat rakyat untuk perubahan Pakistan yang diberikan kepada Imran Khan. Namun sayang, semangat dan upaya Imran Khan untuk memenuhi kehendak rakyat itu tidak cukup memuaskan, sehingga terjadilah pergantian kepala pemerintahan sebelum waktunya habis.
Imran Khan memang menghadapi kendala besar selama 3,5 tahun masa kepemimpinannya, yaitu pandemi Covid-19. Seperti halnya di negara-negara lain, pandemi telah membuat ekonomi Pakistan berhenti tumbuh akibat dibatasinya kegiatan produksi dan pergerakan orang dan barang untuk mencegah persebaran virus korona.
Investasi oleh pengusaha-pengusaha Pakistan yang sukses berbisnis di negara-negara lain menjadi tertunda kedatangannya. Bagaimanapun, investasi baru akan masuk di suatu negara jika ada prospek untuk mendapat profit di sana. Padahal investasi inilah yang digadang-gadang Imran Khan untuk memperbanyak lapangan pekerjaan sebagaimana janjinya saat kampanye.
Baca juga: Profil PM Baru Pakistan Shahbaz Sharif yang Gulingkan Imran Khan
Berbagai kendala tadi membuat ekonomi Pakistan berjalan ‘sempoyongan’. Indeks Harga Konsumen (IHK) yang mengukur tingkat inflasi meningkat menjadi 13 persen pada Januari 2022, dan harga-harga bahan pokok meningkat menjadi 15 persen pada pertengahan Maret 2022. Kesulitan masyarakat karena kenaikan harga-harga ini memberi celah bagi partai-partai oposisi untuk menggulingkan Imran Khan.
Demonstrasi mengritik pemerintah pun dilakukan partai oposisi, yang dibalas dengan demonstrasi membela pemerintah. Kubu Imran Khan membeberkan upaya yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan rakyat dan mengendalikan ekonomi, seperti pemberian bantuan sosial, peningkatan upah minimum, dan perolehan pinjaman dari IMF. Namun berbagai upaya itu rupanya tidak cukup berhasil.
Puncak kegaduhan politik berakhir setelah DPR Pakistan menetapkan mosi tidak percaya kepada Imran Khan pada hari Minggu, 10 April 2022. Koalisi partai oposisi kemudian menunjuk Ketua Partai PML, Shahbaz Sharif, untuk menggantikan posisi Imran Khan sampai diadakannya pemilu pada tahun depan.
Demokrasi berjalan kurang tertib karena aspirasi rakyat tidak disadari tepat waktu. Imran Khan harus menerima kenyataan pahit, mundur sebelum peluit akhir pertandingan berbunyi.