Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rakyat Korea Utara Terancam Kelaparan Jelang Musim Dingin

Kompas.com - 05/11/2021, 21:54 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Editor

PYONGYANG, KOMPAS.com - Peringatan keras mengenai ancaman kelaparan muncul dari dalam maupun luar Korea Utara.

Pembelot yang kini tinggal di Korea Selatan memberi tahu BBC bahwa keluarga mereka di Utara akan kelaparan. Menjelang datangnya musim dingin, muncul kekhawatiran bahwa orang-orang yang paling rentan akan kesulitan mendapatkan bahan pangan.

"Persoalan yang terjadi termasuk banyak anak menjadi yatim piatu, juga kematian terus menerus dilaporkan," kata Pemimpin redaksi Daily NK, Lee Sang Yong, yang memiliki sumber di Korea Utara.

Baca juga: China dan Rusia Kembali Desak DK PBB Cabut Sanksi untuk Korea Utara

"Orang-orang kelas bawah di Korea Utara semakin menderita," kata Lee, seiring ancaman krisis pangan yang lebih buruk dari perkiraan.

Saat ini, mendapatkan informasi dari Korea Utara menjadi kian sulit. Perbatasan negara itu ditutup sejak Januari tahun lalu demi mencegah penyebaran Covid-19 dari China.

Bahkan, mengirim pesan ke luar negeri kepada keluarga dan teman-teman yang membelot ke Korea Selatan juga berisiko besar.

Siapa pun yang tertangkap memiliki ponsel ilegal dapat dijebloskan ke kamp kerja paksa. Namun, beberapa orang masih mencoba mengirim surat atau pesan suara melalui teks ke orang yang mereka cintai, juga ke publikasi di Seoul.

Melalui sumber-sumber ini, beberapa di antaranya harus anonim, BBC mencoba membangun gambaran tentang apa yang terjadi.

Baca juga: Di Tengah Krisis Pangan, Korea Utara Membiakkan Angsa Hitam untuk Bahan Makanan

Setiap butir nasi harus diamankan

Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un tampaknya bersedia mengakui parahnya situasi di negaranya.BBC INDONESIA Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un tampaknya bersedia mengakui parahnya situasi di negaranya.

Korea Utara selalu bergumul menghadapi krisis pangan, namun pandemi memperparah situasi yang sudah buruk menjadi lebih buruk.

Pemimpin Korea Utara Kim Jong U membandingkan situasi saat ini dengan bencana terburuk di negara itu yang dikenal sebagai "Pawai Sulit" pada 1990-an. Saat itu, ratusan ribu orang meninggal karena kelaparan.

Situasi saat ini dianggap belum seburuk itu. Masih ada beberapa harapan. Korea Utara tampaknya bersiap membuka kembali perbatasan dengan China, namun tidak jelas berapa banyak perdagangan dan bantuan yang dibutuhkan untuk memperbaiki kehancuran ekonomi di negara miskin itu.

Hasil panen tahun ini menjadi sangat krusial. Sebagian besar pertanian tahun lalu hancur oleh serangkaian topan yang melanda. Sementara itu, PBB memperkirakan negara itu kekurangan pasokan makanan untuk dua hingga tiga bulan.

Demi memastikan panen tahun ini sukses, puluhan ribu orang termasuk tentara dipekerjakan ke ladang untuk membantu mengumpulkan beras dan jagung.

Kim Jong Un juga dikabarkan telah memerintahkan agar setiap butir beras di negara itu harus diamankan dan setiap orang yang memakannya harus membantu memanen.

Baca juga: Kim Jong Un Minta Rakyat Korea Utara yang Kelaparan Makan Sedikit hingga 2025

"Sebuah rencana telah disiapkan untuk menimimalkan kerugian dari proses panen," kata Lee dari Daily NK.

"Sanksi tegas akan diberikan jika terjadi pencurian atau kecurangan. Ini membuat suasana menjadi menakutkan."

Pekan lalu, Badan Intelijen Nasional Korea Selatan (NIS) melaporkan dalam sidang parlemen tertutup bahwa Kim merasa dia seperti berjalan di atas es yang tipis karena situasi ekonomi, menurut anggota parlemen yang mengikuti sidang itu.

NIS juga melaporkan kekurangan obat-obatan dan kebutuhan esensial telah mempercepat penularan penyakit menular seperti demam tifoid.

Kekhawatiran yang berkembang terkait ini juga diperkuat oleh media pemerintah yang menyoroti langkah-langkah yang diambil demi mencegah kerusakan tanaman.

Media pemerintah Korea Utara juga merilis poster propaganda yang menekankan upaya untuk bekerja pada produksi pangan.

Baca juga: Buat Perubahan Aturan, Korea Utara Siapkan Rencana Masa Depan Tanpa Kim Jong Un?

Kekurangan alat pertanian modern

Petani Korea Selatan mengerjakan ladangnya menggunakan mesin.BBC INDONESIA Petani Korea Selatan mengerjakan ladangnya menggunakan mesin.

Korea Utara menghadapi dua masalah utama dengan pasokan makanannya.

Yang pertama berkaitan dengan cara bertani mereka. Pyongyang memang berinvestasi dalam teknologi militer dan rudal baru. Namun, para ahli mengatakan negara ini tidak memiliki mesin modern yang dibutuhkan untuk panen yang cepat dan sukses.

Choi Yongho dari Institut Ekonomi Pedesaan Korea mengatakan bahwa kurangnya peralatan pertanian telah menyebabkan rendahnya produktivitas pangan yang rendah.

Dari titik pengamatan di ujung barat Korea Selatan, dengan latar belakang gedung pencakar langit Seoul yang mewah, BBC bisa menyaksikan pemandangan yang jelas dari Sungai Han ke Korea Utara.

Terlihat dekat, namun rasanya begitu jauh.

Baca juga: AS Desak Korea Utara Berhenti Memprovokasi dan Terima Tawaran Dialog

BBC mendengar seorang gadis muda berkomentar melalui teropongnya bahwa mereka adalah orang yang sama.

"Mereka sama seperti kita," katanya sambil kembali ke arah ibunya.

Belasan penduduk desa sibuk memanen beras dan membawanya dari punggung mereka ke traktor yang rusak.

Seorang petani Korea Selatan di Paju, di dekat zona demiliterisasi yang memisahkan kedua negara, mengatakan butuh waktu satu jam untuk mengupas gabah dengan mesin.

Jika dia melakukannya dengan tangan, seperti yang dilakukan di Utara, dia akan membutuhkan waktu sepekan untuk mengupas gabah dari satu ladang.

Baca juga: Utusan AS: Uji Coba Rudal Korea Utara Mengkhawatirkan

Korea Utara sangat rentan terhadap perubahan iklim

Korea Utara sangat rentan terhadap bencana alam.BBC INDONESIA Korea Utara sangat rentan terhadap bencana alam.

Seiring kurangnya teknologi dan pasokan pertanian, Korea Utara menghadapi masalah jangka panjang jika menginginkan pasokan pangannya aman.

Negara ini termasuk satu dari 11 negara yang paling rentan terhadap efek pemanasan global, menurut badan-badan intelijen AS. Dengan area yang juga terbatas untuk bercocok tanam, negara ini juga bisa menjadi yang paling terpukul.

"Kegagalan panen beras dan jagung juga lebih mungkin terjadi di sepanjang garis pantai barat yang merupakan sumber pangan bersejarah bagi Korea Utara," kata Catherine Dill dari Council on Strategic Risks, yang merupakan salah satu penulis laporan berjudul Converging Crises in North Korea.

Hal itu bisa jadi menjadi alasan mengapa Pyongyang mengirim duta besarnya untuk Inggris ke Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-26 di Glasgow.

"Korea Utara sangat rentan terhadap bencana alam. Banjir, hujan keras, dan angin topan mengancam mereka setiap tahun yang berdampak pada hasil panen dan memunculkan hama," kata Choi.

Baca juga: Korea Utara Sindir Reaksi AS Berlebihan Tanggapi Uji Coba Rudal Baru-Baru Ini

Laporan Krisis Konvergen menunjukkan situasi ini bisa memburuk beberapa tahun mendatang dan produksi beras dapat terpengaruh oleh kekeringan maupun banjir.

"Badai yang lebih intens telah memengaruhi Korea Utara, ada contoh nyata dari ini baik di musim topan 2020 dan 2021. Terkait kenaikan permukaan laut, wilayah pesisir Korea Utara akan semakin berisiko," kata Dill.

Di saat Pyongyang jarang berhubungan dengan dunia luar, namun mereka sering memberi pengecualian untuk isu perubahan iklim dan lingkungan.

Korea Utara bekerja sama dengan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) untuk laporan rinci negara pada 2003 dan 2012.

Pyongyang juga menandatangani perjanjian internasional seperti Protokol Kyoto dan Perjanjian Paris.

Salah satu alasan keterlibatan dalam isu perubahan iklim ini bisa jadi karena dampaknya terhadap produksi pangan.

Baca juga: Pembelot Korea Utara Kabur dari Penjara, China Tawarkan Ratusan Juta untuk Menangkapnya

Laporan UNEP 2012 mencatat bahwa suhu rata-rata di Korea Utara meningkat sebesar 1,9 derajat Celsius dalam kurun 1918 hingga 2000, salah satu yang peningkatan tercepat di Asia.

Menurut laporan Green Climate Fund 2019, suhu rata-rata tahunan di Korea Utara diperkirakan bakal meningkat sebesar 2,8 hingga 4,7 derajat Celsius pada 2050.

Korea Selatan melihat peluang bekerja sama dalam hal ini, sebagai masalah yang akan mempengaruhi kedua negara.

Menteri Lingkungan Korea Selatan Han Jeoung-ae mengatakan kepada BBC pada pekan lalu bahwa dia berharap bertemu dengan mitranya itu di Glasgow demi berbicara tentang kerja sama antar-Korea terkait perubahan iklim. Sayangnya, hal itu belum terjadi.

Apabila delegasi Korea Utara mendengarkan pidato di Skotlanda, mereka akan tahu bahwa ketika ketakutan akan pandemi mereda dan perdagangan dengan China dilanjutkan, negara itu menghadapi krisis yang berkembang dan akan memengaruhi populasi mereka yang sudah rentan.

Dan Korea Utara tidak bisa mengatasi ini seorang diri.

Baca juga: Daftar Uji Coba Rudal Korea Utara Sepanjang 2021

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Israel Kerahkan Tank ke Rafah, Ambil Alih Kontrol Perbatasan

Israel Kerahkan Tank ke Rafah, Ambil Alih Kontrol Perbatasan

Global
Serangan Rusia di Sumy Ukraina Tewaskan 1 Warga Sipil, 2 Anak Luka-luka

Serangan Rusia di Sumy Ukraina Tewaskan 1 Warga Sipil, 2 Anak Luka-luka

Global
Otoritas Keselamatan Udara AS Selidiki Pemeriksaan Pesawat Boeing

Otoritas Keselamatan Udara AS Selidiki Pemeriksaan Pesawat Boeing

Global
Kesalahan Teknis. Boeing Tunda Peluncuran Kapsul Luar Angkasanya

Kesalahan Teknis. Boeing Tunda Peluncuran Kapsul Luar Angkasanya

Global
5 Teknologi Tertua di Dunia yang Masih Digunakan

5 Teknologi Tertua di Dunia yang Masih Digunakan

Global
AS, Inggris, dan Sebagian Besar Negara Uni Eropa Tak Akan Hadiri Putin

AS, Inggris, dan Sebagian Besar Negara Uni Eropa Tak Akan Hadiri Putin

Global
Israel Larang Al Jazeera, Kantor Ditutup dan Siaran Dilarang

Israel Larang Al Jazeera, Kantor Ditutup dan Siaran Dilarang

Global
Militer Israel Ambil Alih Kendali Penyeberangan Rafah dari Gaza ke Mesir, Ada Maksud Apa?

Militer Israel Ambil Alih Kendali Penyeberangan Rafah dari Gaza ke Mesir, Ada Maksud Apa?

Global
Rafah, Kota Oasis di Sinai-Gaza yang Terbelah Perbatasan Kontroversial

Rafah, Kota Oasis di Sinai-Gaza yang Terbelah Perbatasan Kontroversial

Internasional
Hari Ke-12 Sidang Uang Tutup Mulut, Trump Diperingatkan Bisa Dijatuhi Hukuman Penjara

Hari Ke-12 Sidang Uang Tutup Mulut, Trump Diperingatkan Bisa Dijatuhi Hukuman Penjara

Global
Remaja Ini Temukan Cara Baru Buktikan Teorema Pythagoras Pakai Trigonometri, Diremehkan Para Ahli

Remaja Ini Temukan Cara Baru Buktikan Teorema Pythagoras Pakai Trigonometri, Diremehkan Para Ahli

Global
Dituduh Mencuri, Tentara AS Ditangkap di Rusia

Dituduh Mencuri, Tentara AS Ditangkap di Rusia

Global
Isi Usulan Gencatan Senjata di Gaza yang Disetujui Hamas, Mencakup 3 Fase 

Isi Usulan Gencatan Senjata di Gaza yang Disetujui Hamas, Mencakup 3 Fase 

Global
Sisa-sisa Kerangka Manusia Ditemukan di Bunker Perang Dunia II

Sisa-sisa Kerangka Manusia Ditemukan di Bunker Perang Dunia II

Global
Protes Gaza Kampus AS: Rusuh di MIT, Wisuda Sejumlah Kampus Pertimbangkan Keamanan

Protes Gaza Kampus AS: Rusuh di MIT, Wisuda Sejumlah Kampus Pertimbangkan Keamanan

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com